Mereka terbahak di meja makan restoran mahal sebuah hotel mewah. Perut kenyang, setelah menyantap menu lobster seharga biaya SPP ratusan anak di Papua sana.
Lobi selesai. Fee sudah disepakati. Tinggal menunggu anggaran cair. Proyek telah dibagi-bagi. Dan mereka bersulang, lalu saling membagi tawa senang.
Dan makan makan malam pun usai. Mereka berkemas setelah saling peluk dan cipika-cipiki. Malam yang senang, membayang uang masuk dompet. Tersungging senyum, " Tak lama lagi bisa membeli mobil idaman,"
Di luar langit muram. Tanpa bintang. Isyarat hujan menggayut di angkasa. Begitu muram, dan benar saja hujan turun menderas seperti raung tangisan, berbalur deru angin serupa suara kemarahan yang berbalut luka.
Esok hari, suara buldozer meraung. Bergerak dan menderak lahan. Ratakan tanah, itu perintah. Tak boleh ada yang membantah, begitu titah hasil pertemuan malam tadi di restoran mahal.
Rumah-rumah tua yang renta pun rata dengan tanah. Ratap penghuni tak peduli. Tanah ini mau disulap jadi perkebunan. Dan itu adalah pembangunan, agar yang di Jakarta bisa tersenyum senang.
Dan malam nanti juga malam selanjutnya, terpaksa banyak yang beratap langit. Esok pun, ribuan nasib bertanya pada langit.
" Negeri ini milik siapa sebenarnya?"
Negeri Ini Milik Siapa Sebenarnya?
Mereka terbahak di meja makan restoran mahal sebuah hotel mewah. Perut kenyang, setelah menyantap menu lobster seharga biaya SPP ratusan anak di Papua sana.
Lobi selesai. Fee sudah disepakati. Tinggal menunggu anggaran cair. Proyek telah dibagi-bagi. Dan mereka bersulang, lalu saling membagi tawa senang.
Dan makan makan malam pun usai. Mereka berkemas setelah saling peluk dan cipika-cipiki. Malam yang senang, membayang uang masuk dompet. Tersungging senyum, " Tak lama lagi bisa membeli mobil idaman,"