Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kisah tentang Kalla, Dialah Jenderal Sebenarnya

17 Maret 2014   18:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:50 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada hari Selasa, 10 November 2010, di Jakarta, digelar sebuah diskusi, bertajuk, " Karakter Bangsa : Pengembangan Kapasitas Kepemimpinan Era Global di Wilayah Multi Etnik". Kebetulan saat saya ditugaskan kantot sebuah media nasional yang terbit di Jakarta untuk meliput diskusi tersebut.
Diskusi menghadirkan beberapa pembicara, yakni Direktur Reform Institute, Yudi Latif dan mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla. Dalam diskusi itu, Yudi memuji Jusuf Kalla. Bagi dia, bekas Ketua Umum Partai Golongan Karya itu, adalah adalah jenderal sebenarnya, bukanlah SBY.
" Bencana erupsi Gunung Merapi membuktikan itu," kata Yudi, ketika itu.
Kata Yudi, bencana Merapi membuktikan seperti apa kualitas kerja sosok Jusuf Kalla. Ia mencontohkan, keputusan Kalla untuk menggunakan kendaraan ampibi atau biasa dikenal dengan sebutan hagglund.
"Ampibi PMI, terbukti lebih cepat bergerak, sementara ampibi pemerintah masih dibelakang. Jadi ketahuan, siapa
jenderal sebenarnya," kata Yudi.
Yudi melanjutkan, Kalla boleh saja
kalah dalam Pilpres. Tapi kenyataan memperlihatkan, siapa pemimpin
sebenarnya. Di Merapi, dan Mentawai, hal terpampang dengan jelas. Menurut Yudi, ini soal mentalitas. Seorang yang jadi pemimpin itu harus bermental besar.
"Sekarang yang ada, ada seorang pemimpin berdada besar, tapi mentalitasnya kecil,"ujar dia.
Selain itu, seseorang yang diberi mandat menjadi pemimpin, haruslah pintar cari solusi. Solusi, kata Yudi, adalah masalah, artinya masalah itu sesuatu yang riil. Sebab itu tak mungkin yang riil diselesaikan oleh citra diawang-awang. Menurutnya, Indonesia butuh pemimpin yang mengerti tentang yang riil itu.
"Bisa membaca kenyataan, karena memang turun pada kenyataan itu, lalu memecahkan masalah. Bukan yang ngomong di podium, banyak rapat. Rakyat dibayangkan dari jarak yang jauh. Kita ini butuh pemimpin yang tak banyak pidato digaya-gayakan,"kata dia.
Sementara itu Jusuf Kalla, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi itu mengatakan, seorang pemimpin itu harus peka. Dari kepekaan itu, muncul sikap menghargai terhadap orang yang dipimpinnya.
" Kenapa waktu saya ke Mentawai, saya tegaskan, rumah penduduk harus dibangun sebelum Natal. Ada yang tanya, kenapa Pak JK, kok harus sebelum Natal. Saya jawab, karena memang mayoritas penduduk di Mentawai itu memeluk agama kristen. Jadi saya ingin, mereka merasa bahagia di Natal nanti. Nah, itu sikap menghargai," Kalla menerangkan.
Seorang pemimpin juga, kata Kalla, mesti tepati janji. Tak bisa menghindar dari janji yang pernah di ucapkan. Ia pun bercerita tentang bagaimana kemudian ia menjadi Ketua Umum PMI.
" Saya ini tak pernah terpikir bakal menjadi Ketua Umum PMI. Waktu kampanye di Pilpres, kampanye terakhir. Ada yang tanya, kalau kalah, Pak JK mau apa. Kembali ke kampung, ngurus agama, atau bergiat dikegiatan sosial. Saya bilang, pilih yang sosial," ujarnya.
Akhirnya ia pun memang kalah. Usai ia kalah dalam Pilpres, pengurus PMI tiba-tiba mendatangi. Kebetulan PMI akan memilih Ketua Umum barunya.
" Saya tanya, mau apa. Pengurus PMI, bilang, mau nagih janji bapak. Katanya, bapak kalau kalah, akan bergiat di kegiatan sosial. Nah, PMI adalah organisasi dibidang sosial yang besar. Kita mau nagih janji
bapak. Ya, saya tak bisa menghindar. Oke, kata saya, asal semua menurut. Aklamasilah," urai Kalla.
Maka jadilah ia sebagai Ketua Umum PMI. Karena sering terkait dengan penanganan disaster atau bencana, maka kepemimpinan di PMI pun harus berpikir jauh.
" Karena PMI harus selesaikan kerja disaster, maka berpikir pun dari yang tersulit. Bagaimana kalau bencana itu ditempat yang jauh, atau sulit terjangkau. Kenapa saya pakai hagglund, karena waktu itu, kondisi di daerah yang perlu di evakuasi, sangat panas, dan sulit dijangkau. Panasnya sampai 200 derajat. Lalu pakai hagglund, yang tak terpikirkan orang," kata dia.
Pemimpin juga harus berani mengatakan benar, jika memang benar. Serta tegaskan salah, kalau memang salah. Ia ambil contoh, saat PMI diminta menjadi mediator dalam kasus bentrokan di Tanjung Priok, yang menelan korban jiwa.
" Waktu itu, saya katakan, pada Habib disana, bahwa anda itu bohong. Bagaimana tidak, ada makam yang diklaim sebagai penyebar Islam di Betawi, tapi belum sampai ke tanah Betawi kemudian meninggal. Lalu disebut sebagai penyebar Islam di Betawi. Saya katakan, Habib bohong, gunakan itu untuk dapat duit. Sulit mengatakan itu, tapi memang harus dikatakan. Karena Habib juga manusia, bisa salah," papar Kalla.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun