Beberapa waktu yang lewat saya pernah berbincang dengan seorang pegawai negeri sipil. Dia bertugas di Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor. Bisri demikian ia mengenalkan namanya. Orangnya, suka humor. Jika tertawa, selalu ngakak.
Di temani kue kering, saya ngobrol ngalor ngidul dengannya di ruangan Kepala Biro Kemahasiswaan IPDN, Arief M Edie. Kebetulan waktu itu saya ada keperluan liputan ke sana, mencari bahan pelengkap tulisan tentang rekrutmen calon praja IPDN yang sedang saya buat atas perintah redaktur. Waktu itu memang tengah ramai-ramainya berita usulan pembubaran sekolah pamong praja itu yang dilontarkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Di Kampus IPDN itulah saya bertemu Bisri. Saya lupa jabatannya apa di sana. Ia yang kemudian menemani saya ngobrol setelah mewawancarai Rektor IPDN, Ermaya Suradinata. Sambil mengunyah kue, Bisri bercerita pengalamannya pertama kali jadi pamong selepas lulus dari IPDN.
Kata dia, ketika itu ia ditugaskan ke Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Bisri pun memulai kisahnya. Setelah melapor ke Pemkab Tapanuli Selatan, ia pun langsung pergi ke Kecamatan Barus.
Kata dia, Kecamatan Barus, Tapanuli Selatan sendiri adalah kecamatan yang penduduknya mayoritas non muslim. Muslim di sana mungkin hanya 11 persen saja. Kecamatan itu, wilayahnya gabungan antara pantai dan pegunungan.
" Dulu, Kecamatan Barus juga berbatasan dengan Aceh," kata Bisri.
Transportasi kesana, bisa menggunakan bus. Dari ibukota kabupaten Tapanuli Selatan, jaraknya sekitar 65 kilometer. Ketika itu kondisi jalan sangat jelek, banyak lubang dan aspal yang mengelupas.
" Kalau hujan sungai suka meluapkan banjir," katanya.
Hari sudah malam, ketika ia berangkat dari terminal bus menuju Kecamatan Barus. Dan setelah menempuh perjalanan melewati jalanan penuh lubang, pagi-pagi dia sampai di Kecamatan Baru. Ia pun langsung menuju kantor kecamatan. Ternyata kantor belum buka, karena dia memang datang saat pagi masih remang.
" Pagi, kantor camat belum buka." katanya.
Karena belum buka, ia pun nongkrong di warung dekat kantor kecamatan yang jug belum buka. Bawa ransel, dan juga sebagai orang asing yang datang sendirian, sendirian, ia pun celangak celinguk saja di sana. " Padahal mas, kan saya sudah dapat cerita yang serem-serem, serem-serem, di Barus itu terkenal dengan santetnya, duh benar- benar lumayan tegang," katanya.
Sampai warung pun akhirnya buka. Saat warung mulai buka, datang petugas Koramil yang memandang heran padanya. Tapi setelah memperkenalkan diri, lalu mengobrol tentara dari Koramil setempat itu akhirnya paham dan tahu siapa dirinya.
" Katanya, baru sekitar jam 9 kantor camat buka. Sementara waktu itu masih jam delapan," ujar Bisri.
Ia pun kemudian pamit kepada petugas Koramil dan menuju ke kantor Camat. Belum juga satu pun staf yang datang. Karena suntuk ia ngegelosor saja di lantai tepat di depan pintu masuk kantor Camat. Tak juga ada yang datang. Karena makin suntuk, ia pun berinisiatif ngambil sapu, lalu bersih-bersih. Sampai kemudian ada staf kecamatan datang yang memandang heran, ada orang asing bersih-bersih di halaman kantor.
" Kebetulan orang kecamatan tua-tua, kaget dia," ujar Bisri.