Pada tanggal 2 Januari 2011, sebuah pesan mampir di inbok email saya. Baru kali ini, isi pesan itu saya baca seksama. Pengirimnya adalah Bang Uchok Sky Khadafi yang saat itu masih menjabat Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparan Anggaran (Fitra). Pesan dari Bang Uchok, ternyata isinya adalah siaran pers mengatasnamakan Fitra, yang saat itu menjadi lembaga, tempat Bang Uchok bernaung. Sekarang Bang Uchok sudah tak lagi di Fitra alias telah keluar.
Setelah saya baca, tulisan ini masih relevan. Dan menurut saya layak disebarkanluaskan, karena ini sebuah fakta yang pernah terjadi di negeri ini. Sebuah fakta, bahwa di negeri ini, ketaatan terhadap pajak masih jauh dari harapan. Sekarang pun, pemerintahan yang baru di bawah Pak Jokowi dan Jusuf Kalla, mengakui itu, bahwa ketaatan terhadap pajak masih minim dan belum maksimal. Masih banyak yang nunggak, bahkan mengemplang pajak. Masih banyak pula, yang memilih main mata dengan petugas pajak untuk mengakali kewajiban pembayaran pajak mereka.
Pemerintah Pak Jokowi pun sudah menabuh genderang perang kepada para pengemplang pajak. Bahkan beberapa sudah diminta untuk dicekal. Maka berdasarkan itulah, saya berpendapat pesan Bang Uchok masih relevan untuk ditulis ulang.
Dalam pesannya yang berupa siaran pers, Bang Uchok mengawali ceritanya tentang renovasi rumah jabatan Menteri Keuangan pada Tahun 2008. Menurut Bang Uchok, dalam pesannya untuk renovasi rumah jabatannya Menteri Keuangan mengalokasikan anggaran sebesar Rp 2,1 milyar. Renovasi rumah jabatan menteri sendiri meliputi pekerjaan-perkerjaan interior seperti pekerjaan pasang back drop, plafond dan pasang wall vinyl ex import. Setelah renovasi selesai, kata Bang Uchok, rupanya sang menteri tak puas. Pada tahun anggaran 2009, Menteri Keuangan kembali mengalokasikan anggaran sebesar Rp 1,3 milyar yang diperuntukan merenovasi rumah jabatannya.
Jadi, total alokasi anggaran untuk renovasi rumah jabatan menteri sebesar Rp 3, 3 milyar. Ini sangat fantasis dan mewah, kata Bang Uchok.
Bila melihat itu, kata Bang Uchok lagi, ini mengambarkan perencanaan penganggaran di Kementerian Keuangan sangat buruk. Realisasi belanja pun sangat boros alias tidak efisien. Selain boros dalam belanja anggaran, dari sisi pengelolaan penerimaan  negara juga sangat kacau balau. Kenapa Bang Uchok sampai berani menilai pengelolaan penerimaan kacau balau, karena kata dia, faktanya banyak penerimaan negara bisa menguap begitu saja tanpa ada pertanggungjawaban dari kementerian Keuangan.
Bang Uchok pun kemudian membeberkan sejumlah data. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester I Tahun 2010, kata Bang Uchok, ada penerimaan Negara yang menguap sebesar Rp 3,9 trilyun. Penerimaan yang menguap itu berasal dari Rp 1,5 trilyun atau 39.094 transaksi yang tidak bisa dijelaskan oleh Direktorat Jenderal Pajak dari data reversal (koreksi pembalikan, pembatalan, dan pembetulan data oleh bank).
Selain itu, kata Bang Uchok, ada sebesar Rp 2,4 trilyun potensi penerimaan negara yang menguap gara-gara tak menyertakan kode Nomor Transaksi
Penerimaan Negara (NTPN), Nomor Transaksi Bank (NTB), dan Nomor Transaksi Pos (NTP). Padahal semua itu menjadi syarat pengesahan penerimaan pajak melalui bank atau pos persepsi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per-78/PB/2006 tentang Penatausahaan Penerimaan Negara melalui Modul Penerimaan Negara.
Data lainnya, kata dia, dari Hasil Audit BPK semester Pertama Tahun 2010, piutang Pajak pada tahun 2009 yang bakalan Hilang sebagai Potensi Penerimaan negara mencapai Rp 63 trilyun. Rinciannya yang berasal dari Direktorat Jenderal Pajak sebesar Rp 49 trilyun, sementara dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebesar Rp 13 trilyun. Lalu Pada 2010, piutang Pajak bertambah lagi sebesar Rp 20 trilyun.
Tetapi Direktorat Jenderal Pajak hanya dapat
mengembalikan atau menagih kepada wajib pajak sebesar Rp 18 trilyun. Dengan demikian, total jumlah piutang pajak pada tahun 2009 sebesar Rp. 63 trilyun. Ditambah dengan piutang pajak pada tahun 2010 sebesar Rp 2 trilyun, maka total jumlah semuanya sebesar Rp 65 trilyun. Berarti kata Bang Uchok, masih ada potensi kehilangan penerimaan negara sebesar Rp 65 trilyun lagi yang sampai sekarang tidak jelas keberadaannya.
Bang Uchok melanjutkan, menurut audit BPK, potensi penerimaan negara sebesar Rp 65 trilyun itu akan hilang, karena dokumen kurang valid. Atau menurut gaya bahasa BPK, tidak di dukung dan tidak sesuai dengan dokumen sumber, sehingga belum dapat diyakini kewajarannya.
Nah, kata Bang Uchok dari Rp 65 trilyun yang berpotensi hilang itu, sebesar Rp 17 trilyun diantaranya berasal dari  100 perusahaan penunggak pajak terbesar secara nasional. Ini bukti Direktorat Jenderal Pajak tak mampu menagih pajak tunggakan pajak dari 100 perusahaan tersebut. Padahal menurut UU Perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak mempunyai 'power' yang sangat besar untuk melakukan apa saja terhadap perusahaan-perusahaan bandel atau yang tak patuh bayar pajak pada negara.
Sementara data terakhir yang disampaikan Bang Uchok terkait dengan menguapnya penerimaan negara dari kebijakan Sunset Policy (penambahaan NPWP baru) sebesar Rp 6 trilyun. Pada tahun 2009, tercatat wajib pajak di Indonesia sebanyak 16,91 juta orang. Namun penerimaan negara hanya sebesar Rp 565 trilyun. Padahal pada 2008 dengan wajib pajak sebanyak 10, 68 juta orang, penerimaan negara bisa mencapai Rp 571 trilyun.
Jadi, kata Bang Uchok bisa dikatakan realisasi penerimaan negara pada 2008 lebih besar ketimbang di 2009. Selisihnya mencapai Rp 6 trilyun.
Ini tentu rada mengherankan kata Bang Uchok, karena wajib pajak pada 2008 jumlahnya lebih sedikit daripada di 2009. Berangkat dari data-data itu, Bang Uchok meminta DPR segera mengamandemen UU Perpajakan. Kata dia, selama ini implementasi UU Perpajakan jauh dari pengawasan publik. Jangankan publik bisa mengawasi, BPK saja tidak dapat melakukan audit
terhadap wajib pajak. Jadi berapa setoran
pajak dari wajib pajak yang masuk ke kas negara hanya Direktorat Jenderal Pajak yang tahu. Jelas ini rentan terjadinya penyimpangan. Ini juga jadi lahan subur untuk melahirkan pemungut pajak korup seperti Gayus Tambunan dan Bahasyim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H