Tak dinyana, bila orang nomor satu di Kementerian Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, bisa menjadi penyair dadakan. Di Kepulauan Miangas,yang masuk wilayah Kabupaten Talaud, Provinsi Sulawesi Utara, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, merasa teraduk-aduk perasaannya, lalu lahirlah puisi dadakannya.
Setelah kaki, dan mata, menginjak dan merekam Pulau Miangas, beranda depan Indonesia nun jauh di pelupuk Jakarta, dan sebuah tanah, tanda kedualatan negeri, yang selama ini, sekedar disebut bibir, Gamawan dada dan jiwanya terasa teraduk. Inspirasi pun muncul tanpa bisa ditolak. Lahirlah puisi, yang ia tak duga bisa dibuat usai mengunjungi tanah Miangas.
Gamawan, yang baru pertama menginjak Miangas, hatinya tersentuh. Sebagai pejabat dan orang nomor satu di Kementerian Dalam Negeri, apalagi sekarang ia di daulat sebagai Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan, tentuwilayah perbatasan yang jadi konsen dari badan yang dipimpinnya, harus benar-benar di perhatikan, tak hanya dengan program yang sifatnya teknis. Namun juga dengan sentuhan hati.
Pagi hari, pada 7 Mei 2011, ia dan rombongan dari BNPP, berangkat dari Jakarta. Dalam pesawat yang membawanya, ia sudah tak sabar, ingin melihat dan merekam langsung dan merasakan ruap udara dari Miangas, beranda depan Indonesia, yang langsung dengan Filipina. Miangas sendiri adalah sebuah pulau terluar milik Indonesia, berhadapan langsung dengan Filipina. Dari laman Wikipedia, dicatatkan, bahwa Miangas, adalah pulau yang tergabung dalam gugusan kepulauan Nanusa.
Luas pulau itu, sekitar 3,15 km persegi. Jarak Pulau Miangas dengan Kecamatan Nanusa adalah sekitar 145 mil, sedangkan jarak ke Filipina hanya 48 mil. Penduduk yang mendiami pulau itu, kurang lebih 678 jiwa, itu data 2003 dengan mayoritas adalah Suku Talaud. Disana, perkawinan dengan warga Filipina sudah biasa. Bahkan beberapa laporan mengatakan mata uang yang digunakan di pulau ini adalah peso.
Wikipedia, juga menyebutkan Belanda menguasai pulau ini sejak tahun 1677. kemudian, Filipina sejak 1891 memasukkan Miangas ke dalam wilayahnya. Lalu, Belandabereaksi dengan mengajukan masalah Miangas ke Mahkamah Arbitrase Internasional. Putusan mahkamah, dengan hakim Max Huber pada tanggal 4 April 1928, memutuskan Miangas menjadi milik sah Belanda, sementara Filipina sendiri, kemudian menerima keputusan tersebut.
Dalam ceritanya, Gamawan, menuturkan, perjalanan ke Miangas, cukup menguras tenaga. Maklum jarak dari ibukota kabupaten, ke Miangas tak bisa ditempuh dengan pesawat, harus menggunakan kapal laut. Miangas sendiri masuk dalam wilayah Kabupaten Talaud, sebuah kabupaten di Sulawesi Utara. Dari Jakarta, kata Gamawan, harus menggunakan pesawat ke Manado. Dari Manado, nyambung terbang ke Kota Melongwane, ibukota Kabupaten Talaud. Baru dari Melongwane, menggunakan kapal Pelni menuju Pulau Nanusa. Dari Nanusa, kapal langsung menuju Miangas. ” Sekitar 12 jam, perjalanan dari Melongwane ke Miangas,” katanya.
Ia merasa terharu, saat tiba di Miangas, sambutan hangat menanti. Anak-anak sekolah berbaris, sembari melambaikan kibaran bendera merah putih. Dadanya berdegup, maklum Miangas adalah beranda terjauh Indonesia, di sebelah utara. Apalagi, saat ia disambut dengan upacara adat ala Miangas. Ia merasatak sedang jauh dari rumah.
Sebagai Kepala BNNP, ia pun bertekad, agar semboyan yang kerap di ucapkan, dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas sampai Pulau Rotte, tak sekedar semboyan. Tapi itu adalah batas kedaulatan Indonesia, yang harus disentuh dan diperhatikan dengan hati. Usai menginjak kaki di Miangas, entah mengapa, ia tergerak untuk membuat puisi. Jadilah, sebuah puisi, ungkapan hati dari seorang Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri, sekaligus Kepala BNPP, dengan judul Miangas.
Miangas……
Disudut samudera pasifik yang biru.
Dibatas cakrawala yang kelabu
Di utara tanah airku.
Itu bait pertama dari puisinya. Di bait kedua, ia mencoba menggambarkan betapa ia begitu menyatu dengan Miangas, yang dikunjunginya.