"BBM naik tinggi, susu tak terbeli.
Orang pintar tarik subsidi, mungkin bayi kurang gizi"
Demikian sepenggal syair lagu berjudul," Galang Rambu Anarki,"
yang dinyanyikan Iwan Fals. Lagu yang cukup menohok dan mengena dalam menggambarkan dampak kenaikan BBM bagi rakyat. Ringkas tapi cukup pedas.
Awal April nanti, pemerintah kembali akan menaikan harga BBM. Sebuah keputusan tak populis, yang bakal menuai derasnya penolakan. Dipastikan demosntrasi demi demonstrasi akan mewarnai.
Dulu minyak adalah berkah, setiap kenaikan harga minya dunia, artinya negara bakal menangguk banyak pundi. Tapi kini, memang, negara tak ada pilihan lain. Indonesia bukan lagi negeri raja minyak. Era melimpahnya minyak sudah berakhir. Indonesia bahkan kini sudah tercatat sebagai negara pengimpor.
Dalam sebuah diskusi, pengamat energi, Arif Rahman, mengatakan, kini Indonesia bukan lagi raja minyak, faktanya antara penerimaan migas dengan ongkos subsidi ada selisih yang jomplang. Subsidi BBM, gas, dan listrik kini mencapai 255,5 trilyun sedangkan penerimaan migas hanya 272 trilyun. Artinya pundi migas yang masuk kantong negara setelah dikurangi subsidi hanya 16,3 trilyun.
Bila dirinci, dari total 255,5 trilyun subsidi migas, sebanyak 165,2 trilyun adalah subsidi untuk BBM, LPG dan BBN. Dan sebanyak 90,5 trilyun subsidi listrik. Padahal anggaran untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saja, untuk anggaran 2012, jumlahnya 286,6 trilyun. Maka, andai saja subsidi migas sebesar 165,2 trilyun di alihkan ke sektor pendidikan tentu itu jumlah yang signifikan untuk membangun insfrastruktur pendidikan.
" Pembangunan infrastruktur akan sangat terbantu," kata Arif yang juga Ketua KNPI Bidang Energi.
Duit subsidi yang dikeluarkan juga tak sepenuhnya dinikmati kalangan rakyat jelata, kata Arif. Data Bank Dunia 2010, menyebutkan bahwa 25 persen kelompok rumah tangga dengan penghasilan (pengeluaran) per bulan tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar 77 persen. Sementara 25 persen kelompok rumah tangga dengan penghasilan (pengeluaran) per bulan terendah hanya menikmati subsidi BBM sekitar 15 persen.
" Artinya ada ketimpangan dalam pengalokasian sasaran penerima subsidi di masyarakat," katanya.
Diperparah, negara salah prediksi. Negara memprediksikan harga minyak 90 dollar perbarel, faktanya harga 120 dollar perbarel. Salah prediksi itu membuat APBN membengkak bebannya. Lalu akan di atasi dengan kenaikan BBM juga pajak.
Dalam kondisi seperti itu, dimaklumi bila beban negara kian bertumpuk. Tapi negara juga jangan selalu menjadikan kenaikan harga minyak dunia sebagai biang keladi. Negara mesti intropeksi, bahwa APBN juga kerap bocor. Dan ada beban lain yang hingga kini masih jadi beban negara dan rakyat, membayari utang BLBI.