Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Era Digitalisasi Fitnah, Gosip dan Kabar Burung

1 Maret 2016   17:12 Diperbarui: 1 Maret 2016   17:38 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di era digital sekarang ini, ruang kebebasan berbicara seakan mendapat tempatnya yang lapang, bahkan tanpa batas. Apalagi, setelah hadirnya media sosial seperti Twitter dan Facebook. Warga pun tak lagi sedan bersuara. Mereka, tak lagi takut, bahkan mencaci Presiden sekali pun.

Padahal di era Orde Baru, semua takut. Semua tiarap. Hanya segelintir yang berani bicara. Itu pun mesti menanggung resiko mendapat represi alat negara. Ya, era Orde Baru, adalah era, ketika negara hadir dengan wajah angker. Penguasa tampil tanpa senyum, namun penuh seringai menakutkan. Sekali berani bercuap berbeda dengan penguasa, boleh jadi derap sepatu serdadu akan terdengar di depan pintu.

Tapi era itu telah berakhir. Kini, era reformasi, sebuah era yang katanya menempatkan demokrasi sebagai langgam dalam berekspresi dan berpendapat. Ya, di era ini, media-media tumbuh bak jamur di musim hujan. Terutama media online. Banyak sekali media online bermunculan, bahkan dengan nama-nama yang nyeleneh.

Ada media yang dengan gagah memakai label berbau agama. Dari nama, serta konten, mereka coba meneguhkan, bahwa medianya yang paling 'agamis'. Nama-nama berbau Arab pun jadi favorit untuk menunjukan jatidiri mereka. Selain tentunya, nama-nama lain yang sifatnya umum.

Harus di akui, era dotcom, seakan membawa berkah tersendiri bagi publik. Akses informasi, bahkan ruang untuk mengabarkan berita terbuka lebar. Sayang, di era euforia tersebut, selalu saja ada yang diabaikan. Dan sialnya yang diabaikan itu adalah tanggung jawab media terhadap fakta. Ini yang selalu dianggap remeh.

Dan jagad maya pun penuh dengan 'berita sampah'. Lapak internet, jadi ajang tuding menuding yang sialnya tak disertai fakta. Fitnah pun berseliweran. Menjengkelkannya lagi, mereka yang membuat dan memproduksinya seakan bangga. Padahal, mereka adalah yang memakai nama berbau agama. Menyebalkan memang. Tapi apa mau dikata, itulah yang terjadi.

Nama berbau agama pun hanya jadi 'merek', tanpa disertai tanggung jawab untuk menegakan nilai-nilai agama itu sendiri. Padahal, agama mana pun sangat jelas, menjunjung tinggi sebuah kebenaran. Agama mana pun tak pernah mengajarkan untuk memanipulasi fakta, hanya sekedar demi nafsu sensasi.

Dampaknya, publik dibuat bingung. Pertentangan tumbuh subur, karena informasi yang sesat. Bibit konflik tak terhindarkan dibakar oleh kabar burung, gosip dan fitnah. Saya pun jadi bertanya-tanya, adakah mereka sadar apa yang dilakukannya itu sungguh tak bermanfaat, bahkan sama sekali tak mencerminkan spirit dari agama yang mereka jadikan label dan 'merek'?

Untuk apa mereka melakukan itu? Jangan-jangan mereka senang bila republik ini limbung dan bingung?

Media seharunya tampil jadi 'anjing penjaga' yang kritis. Dia akan mengonggong kala ada yang keliru. Bukan kemudian membuat publik bingung. Media mestinya jadi seperti 'penunjuk jalan'. Bukan, pemberi info sesat dan bohong. Karena, media yang baik, adalah media yang berhasil membuat khalayak mengetahui sebuah kebenaran. Sekali kebenaran. Bukan mengajari publik untuk kemudian pandai menyebar fitnah.

#Usai membaca pro kontra berita 'sesat' tentang Po An Tui

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun