Hidup di Jakarta, bukan perkara mudah. Biaya hidup yang terus mengerek setiap saat, membuat hidup di ibukota, seakan terus menanggung beban berat. Bagi yang berpenghasilan tebal, mungkin tak masalah. Tapi bagi yang penghasilannya megap-megap, tentu biaya hidup yang tinggi, menjadi beban tersendiri yang sangat berat ditanggung. Sementara yang masuk kategori megap-megap itu yang mayoritas di Jakarta.
Tapi mau apalagi, Jakarta masih tetap pusat gula-gula. Manisnya mimpi kota Jakarta, membuat ibukota itu selalu dikerubuti 'semut-semut' dari seluruh penjuru Tanah Air. Ada yang gagal, ada yang berhasil. Namun sisa kebanyakan adalah bertahan, dengan segala daya dan cara, tetap bertahan di Jakarta, sembari merajut mimpi, di suatu hari kelak, keberhasilan menghampiri.
Toid misalnya, laki paruh baya, seorang supir bajaj, memutuskan coba terus bertahan di Jakarta. Dengan bajaj, ia terus mencoba mengais-ngais keberuntungan. Lewat bajaj, ia 'menantang' kerasnya persaingan berebut rejeki di ibukota. Sampai saat ini, ia masih bisa tersenyum, kadang senyumnya terlihat satir.
Saya bertemu dengannya tak sengaja. Di pinggir sebuah warung rokok yang menggunakan gerobak, saya mendapatkan cerita dan kisah marginal dari mulut Toid. Warung rokok gerobak itu, favorit para supir bajaj, yang saban hari mengarungi jalur sekitaran Blok M-Cipete. Di sini pula, Toid dan kawan satu profesi rehat sebentar, mereguk segelas kopi hitam favoritnya, ditemani hisapan sebatang rokok.
Di sini pula obrolan-obrolan kaum marginal terjadi. Obrolan para supir bajaj, salah satu profesi yang masih terus bertahan dan dipertahankan. Dari mulut Toid juga, diketahui, sistem setoran bajaj, tak hanya berlaku harian. Tapi ada dua sistem. Satu yang lazim dan bisa dikatakan sistem paling awal diberlakukan adalah setoran tiap hari. Kini, mulai ngetren, sistem kontrak dengan durasi kontrak satu bulanan.
" Sekarang ada sistem kontrak bulanan. Misalnya saya ini, pakai sistem sewa, 400 ribu perbulan, " kata Toid.
Jadi, setoran diberikan per satu bulan, dengan jumlah setoran yang sudah disepakati pengontrak dan pemilik bajaj. Toid misalnya dengan pemilik bajaj menyepakati angka sewa bulanan sebesar 400 ribu.
" Kalau ngontrak bulanan, ya semuanya kita yang atur, mulai dari olinya, juga memperbaiki kalau ada kerusakan. Onderdil juga kita yang tanggung," katanya.
Juragan bajaj, tahu beres, tahu nanti ditanggal yang disepakati sebagai waktu terima setoran, tinggal menerima uang sewa saja. " Juragan bajaj tahu beres dan bersih sajalah," kata Toid.
Mulyanto kolega Toid, sesama supir bajaj ikut nimbrung. Kata dia, jika sistem setoran tiap hari, maka kewajiban supir bajaj, hanya setor uang tarikan saja. Besaran setoran, biasanya antara 35 sampai 37 ribu per hari.
Tapi jatuhnya bisa lebih besar daripada memakai setoran per bulan. Ia pun sama dengan Toid lebih memilih sewa bulanan. Kenapa lebih mahal, sebab bukan hanya uang setoran yang jadi kewajibab supir bajaj, tapi juga wajib membayar uang oli bajaj pada juragan bajaj.