Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ditemukan di Tengah Jalan, Berakhir di Tong Sampah

3 November 2014   18:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:48 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, mengaku sangat terkesiap, menyaksikan begitu antusiasnya khalayak ramai menyambut Presiden baru, usai pelantikan kepala negara itu kemarin. Mungkin itu pertama dalam sejarah, rakyat memilih, lalu menanti pelantikan, dan mengantarkan pilihannya ke Istana. Padahal sebelumnya, sejarah pemimpin negeri ini selalu berakhir tragis. Di elukan, tapi mereka terhempas dalam sejarah yang sepi. Andai pun ada yang berakhir dengan normal tapi  di ujung pengabdian membawa sisa caci rakyat yang masih kecewa. Tapi kata dia, muncul semacam kegundahan pasca dilantiknya Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang disertai dengan euforia publik yang begitu besar.
" Ada sebuah kegundahan, bagaimana euforia publik begitu besarnya.  Kita akui ini pertama dalam sejarah. Euforia dari masyarakat yang tergambarkan dalam pesta rakyat," kata Yunarto saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk, "Menyambut Pemerintahan Jokowi-JK: Abdi Kekuasaan atau Pelayan Rakyat?", di Jakarta, Selasa, 21 Oktober 2014.
Padahal, kata Yunarto, bila melacak jejak sejarah, ingatan akan kembali mencatat sejarah para presiden di negeri ini nyaris tak ada yang happy ending. Dalam bahasanya, sejarah para presiden Indonesia, dimulai tak terduga berakhir dengan tragis.
"Ibaratnya kita temukan presiden di tengah jalan tapi  berakhir di di tong sampah. Itu mungkin bahasa kasarnya," kata dia.
Di zaman kemerdekaan, siapa yang akan sangka Soekarno bakal jadi pemimpin. Meski ia kemudian memang benar-benar jadi pemimpin. Tapi sejarah juga mencatatkan, panglima tertinggi revolusi tersebut berakhir tragis di ujung senja kekuasaannya. Kemudian tampil seorang jenderal, yang bahkan dalam sejarah militer di Tanah Air, bukanlah jenderal yang brilian di masanya. Soeharto jenderal yang menggantikan Soekarno, bukan jenderal terbaik di eranya.
" Dan kita juga tak menyangka, sang jenderal yang begitu kuat selama 32 tahun kekuasaannya, berakhir seperti itu (tragis)," katanya.
Begitu juga Habibie, pengganti sang jenderal. Bisa dikatakan teknokrat brilian lulusan Jerman itu naik ke tampuk kekuasaan karena kecelakaan sejarah. Usia kekuasaan Habibie pun hanya seumuran jagung, karena pertanggung jawabannya ditolak MPR. Habibie pun lengser dengan catatan yang tak begitu mengkilap.
" Begitu juga yang dialami Megawati. Partainya jadi pemenang pemilu, tapi  kalah oleh Gus Dur yang  tak disangka bakal jadi presiden," ujarnya.
Kemudian Mega memang menjadi Presiden, menggantikan Gus Dur yang mesti turun dengan cara yang tragis, di lengserkan oleh sebuah 'pengadilan politik'. Tapi  Megawati diangkat jadi Presiden, bukan lewat pemilu. Dan, ketika diuji lewat pemilu, Mega mengalami kegagalan dikalahkan oleh anak buahnya di kabinet SBY yang kala itu berpasangan dengan Jusuf Kalla.
" SBY harus diakui berhasil secara legal formal, memimpin dan jadi presiden selama 10 tahun," katanya.
Tapi kata Yunarto,  harap dicatat kepuasan publik, di masa-masa  terakhir kekuasaan SBY, tak pernah mencapai 50 persen, setidaknya dalam dua tahun terakhir. SBY pensiun memang tanpa peristiwa berdarah. Namun kemarin ketika Ketua Umum Partai Demokrat itu  pamit dari Istana, di saat rakyat sedang berpesta, ada yang berdemo dan berteriak lantang setengah mencaci.
"Inilah pemain sinetron yang menghancurkan demokrasi, imbas dari UU Pilkada," ujar Yunarto.
Sekarang SBY telah pensiun, digantikan Jokowi.  Maka, berkaca pada sejarah, semua mesti merenung, jangan sampai sejarah pemimpin kali ini, berakhir seperti para pendahulunya.
"Artinya kita jangan  terjebak oleh pengkultusan Jokowi. Dan Jokowi sendiri mengatakan saat diwawancarai televisi, tak menyangka ekspetasi pada beliau cukup tinggi. Ini akan jadi beban yang luar biasa. Kita memang melihat ada harapan yang besar, tapi sekaligus beban yang besar pula," kata Yunarto.
Yunarto melanjutkan, bagi seorang pemimpin, hari pertama setelah ia dilantik, sinisme akan mulai muncul. Kritikan bakal mulai datang dari berbagai penjuru. Namun kendati begitu, optimisme mesti tetap terus ditumbuhkan. Minimal terpilihnya Jokowi sudah memperlihatkan esensi demokrasi.
" Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,"
Dari mulai masa kampanye, hingga pelantikan, tiga kata itu, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat mulai terlihat. Jokowi lahir dari rakyat. Dan mantan Wali Kota Solo itu menang oleh rakyat. Tinggal kini pertanyaan yang belum bisa dirasakan jawabannya, untuk rakyat seperti apa.
" Tinggal pertanyaan untuk rakyat bisa tidak di implementasikan. kalau tidak, Jokowi akan menjadi sosok yang tepat untuk dicaci maki," katanya.
Maka sekarang yang ditunggu publik adalah, bagaimana seorang pemimpin itu bekerja, agar variabel untuk rakyat bisa tercipta dan dirasakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun