Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Blogger Pun Harus Ikut Awasi Pemilu

25 Maret 2014   05:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:31 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam sarasehan nasional, bertajuk, “ Menyelamatkan Bangsa dari Politik Transaksional dalam Pemilu 2014”,  yang digelar Badan Pengawas Pemilu, di Jakarta, Rabu, 22 Januari 2014, para tokoh agama angkat bicara tentang pemilu 2014.  Salah satunya yang angkat bicara, adalah rohaniwan Katolik Antonius Benny Susetyo. Menurut Benny, pengawasan terhadap jalannya pelaksanaan pemilu sangat penting. Publik, mesti berperan banyak, ikut aktif mengawasi jalannya pesta demokrasi rakyat tersebut.

Menurut Benny, kenapa publik harus ikut mengawasi, dan tak semata mengandalkan  mata pengawas pemilu, karena kecurangan pemilihan itu potensinya tak hanya ada pada level pusat, tapi sudah di mulai pada level paling bawah.  Misalnya potensi kecurangan yang melibatkan Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS).

“Paling berbahaya kalau penyelenggara  pemilu bermain dan itu banyak di tingkat kelurahan. Dan itu sering terjadi karna Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) orang-orang lama yang sering dibeli. Makanya harus ada regenerasi KPPS dan itu harus imbang,” kata Benny.

Tenaga pengawas pemilu, kata Benny, tentu sangat terbatas. Karena itu, pengawas pemilu perlu menggandeng kekuatan civil society untuk menjadi mata yang awas terhadap segala potensi kecurangan dalam pemilu. Apalagi, saat ini banyak pejabat publik beserta keluarganya ikut maju dalam pemilu. Tentu itu membutuhkan kontrol. Pasalnya, kerapkali mereka selalu mencoba memanfaatkan celah untuk menyalahgunakan fasilitas maupun kewenangannya.

“Harus arus ada kontrol terhadap  pejabat publik yang  anak-anaknya nyaleg dan itu banyak. Anak Bupati, anak Walikota yang masuk partai dan nyaleg kemudian menggiring pejabat desa untuk memilih dia. Ini harus diawasi,” katanya.

Bawaslu pun, sebagai badan resmi yang mengawasi pemilu, kata Benny, jangan memakai cara-cara jadul lagi dalam pengawasannya. Pengawasan mesti canggih, dan melibatkan banyak pihak.  Segala lini mesti diawasi. Sebab ketika kecurangan modusnya semakin canggih, pengawasan pun harus lebih canggih. Misalnya, pengawasan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, seperti pengawasan lewat media social.

“ Bawaslu  harus menggunakan gerakan relawan, misalnya dari blogger. Manfaatkan  twitter, facebook dan socmed lainnya untuk mengawasi itu. Sehingga nanti  bisa difoto dan diupload dan tidak ada jual beli suara,”kata Benny.

Sementara itu, intelektual Islam, Azyumardi Azra, dalam sarasehan itu menyoroti tentang praktek politik transaksional di Indonesia. Menurut dia, politik transaksional sudah sangat parah menjangkiti partai di Tanah Air. Bahkan sudah menjadi perilaku yang membudaya.  Azyumardi sendiri pesimis, praktek politik transaksional bakal hilang.

“ Kita pesimis politik transaksional bisa hilang. Karena berakar pada masalah yang lebih dalam. Memerlukan program angka pendek dan jangka menengah,” kata dia.

Kepada Bawaslu, ia meminta agar all out menyelematkan kualitas pemilu. Menurut dia, mewujudkan pemilu yang fair dengan sedikit kecurangan adalah adalah target yang realitis.  Selain itu, penyelenggara pemilu harus benar-benar bisa memastikan pemilu diikuti oleh seluruh pemilih. tentu ini memerlukan sosialisasi. Masyarakat harus disadarkan tentang pentingnya demokrasi.

“ Kita memerlukan pembenahan sistem demokrasi dikonsolidasikan kembali. Sistem dan prosedur pemilu telah membuat demokrasi semakin mahal, karena mahal itu yang menyebabkan akar transaksional,” kata dia.

Konsolidasi demokrasi sendiri, lanjutnya, mensyaratkan penguatan kelembagaan partai. Dalam kontek itulah, penyederhanaan partai  sangat penting. Dalam kontek itupula, budaya politik menjadi salah satu kunci dari konsolidasi demokrasi. Bila partai belum juga berbenah, pemberdayaan masyarakat menjadi salah satu harapannya.

“ Pemberdayaan masyarakat yang penting. Civil society, LSM alias NGO walau kecil tetapi punya komitmen itu yang diperlukan. Civil society yang berbasis keagaamaan juga harus berperan, sebab mereka punya  pengaruh luas. Tentunya yang memiliki kredibilitas,” tutur Azyumardi.

Kalangan kampus, harus pula ikut terpanggil menyelematkan pemilu. Azyumardi sendiri melihat kalangan kampus kurang diberdayakan.  Padahal, kelembagaan kampus bila diberdayakan., bisa menjadi sebuah kekuatan kontrol yang luar biasa. Misalnya, peran dari BEM.

Di acara yang sama, Sekretaris Pimpinan Pusat Parisada Hindu Dharma Indonesia Nyoman Udayana, ikut angkat bicara. Menurut dia, pengawasan bukan hanya melibatkan tokoh agama, tetapi semua masyarakat. Ia menilai, partai politik masih gagal meyakinkan publik.  Partai masih ‘menghalalkan’ cara-cara yang tak demokratis, misalnya melakukan kecurangan dan manipulasi. Parahnya lagi, penyelenggara pemilu acapkali ikut bermain.

“ KPU juga kerapkali bermain dalam hal penjualan suara.  Sebab itu relawan dari masyarakat tolong diberi kesempatan memantau,” katanya.

Tokoh agama lainnya yang ikut angkat bicara dalam acara sarasehan itu, adalah Ketua Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Andreas Yewangoe.  Andreas merasa prihatin, dengan kian melorotnya kepercayaan publik terhadap partai.  Ia mengaku pernah membaca hasil survei tentang tingkat kepercayaan publik terhadap partai. Dalam hasil survei itu, tingkat kepercayaan publik kepada partai melorot nyaris pada titik nadir.

“Kalau benar hasil  survei, tingkat kepercayaan publik kepada partai tinggal 9,6 persen, ini berbahaya. Ini potensi golput tinggi,” kata dia.

Tapi  PGI sendiri, tak mengharapkan masyarakat yang tak percaya kepada partai untuk golput. Karena itu, PGI menyerukan kepada pemilih untuk tidak golput.  Suara rakyat itu, ibarat suara Tuhan. Karena itu jangan sia-siakan. Tapi tentu agar suara itu tak sia-sia, pemilih mesti cerdas dan kritis. Dan itu perlu pendampingan.

“Demokrasi bukan sekadar suara terbanyak. Tetapi pemberdayaan rakyat untuk melakukan perubahan,” katanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun