Apakabarnya kasus 'Refly Harun, sampai sekarang seperti menghilang. Kasus tentang dugaan suap di Mahkamah Konstitusi, lama di laporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bahkan sudah meminta korban, salah satu hakim konstitusi Arsyad Sanusi, terpaksa mengundurkan diri. Bagaimana kasus itu, tak jelas memang perkembangannya. Tak lagi ada di pemberitaan, tenggelam oleh kasus Nazaruddin, buronan menghebohkan yang sudah ditangkap di Kolombia.
Itulah kelemahan di Indonesia. Satu kasus mencuat, akan tenggelam bila muncul kasus baru yang tak kalah menghebohkan. Selalu begitu.
Ingatan pun banyak dibiasakan kalah oleh lupa. Kebobrokan yang satu, mudah larung dari ingatan, ketika muncul keburukan yang baru. Wajar memang, karena ingatan kadang lelah dan cape mengingat dan mencatat beragam kebobrokan di negeri ini yang sepertinya tak ada habis-habisan.
Media sebagai andalan untuk mewartakan informasi juga sepertinya terayun ambingkan oleh kasus-kasus yang tak ada habis-habisnya. Sepekan heboh, pekan berikutnya meredup. Minggu ini jadi headline, minggu depan berganti lagi.
Alhasil, memori publik pun di jejali informasi kasus yang tak tuntas-tuntas. Sepotong-sepotong yang dapat di catat oleh ingatan. Pun oleh media. Contoh, bagaimana kasus Susno Duadji selanjutnya, tak jelas juga seperti apa.
Mau apalagi, satu hilang, seribu datang berganti. Lelah, lelah, dan lelah. Cerita buruk rupa Indonesia pun tak pernah tamat-tamat, minimal tamat dalam satu efisode.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H