Penemuan ribuan keping e-KTP yang tergeletak di semak-semak di daerah Duren Sawit, Pondok Kopi, Jakarta Timur menjadi sorotan publik. Sebab, meski ribuan keping e-KTP yang ditemukan itu sudah kadaluwarsa dari sisi tanggal, tapi menurut UU Administrasi Kependudukan, e-KTP sekarang berlaku seumur hidup. Artinya, e-KTP yang ditemukan itu masih aktif.
Kasus di Duren Sawit bukan yang pertama kali terjadi. Sebab masih segar dalam ingatan, saat ribuan keping e-KTP ditemukan juga di Jalan Tajur, Kabupaten Bogor. Belum lagi kasus yang mencuat beberapa hari lalu tentang praktek penjualan blanko e-KTP via dunia maya. Dan penggandaan e-KTP di Pasar Pramuka, Jakarta. Spekulasi pun tak terhindarkan. Banyak yang kemudian menghubungkan dengan pemilu serentak.
Seperti diketahui, e-KTP merupakan instrumen atau salah satu syarat bagi pemilih untuk bisa menunaikan hak pilihnya di pemilihan serentak nanti yang akan menggabungkan pemilu legislatif dan pemilihan presiden dalam satu waktu. Â Maka, wajar ada kekhwatiran, e-KTP akan dijadikan alat kecurangan di pesta demokrasi tahun 2019. Adalah yang sengaja bermain? Lalu siapa yang bermain?
Masalah e-KTP ini pun jadi perhatian Tim Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Maka, pada hari Selasa, 11 Desember 2018, BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menggelar diskusi khusus mengupas permasalahan e-KTP dan pemilu. Diskusi yang bertajuk,"Pemilu Jujur dan Adil : Ilusi atau Harapan?" itu sendiri menghadirkan beberapa narasumber yaitu Kaka Suminta, Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Nur Iman Santoso, Wakil Direktur Bidang Data dan Informasi BPN, Prabowo-Sandiaga, Zudan Arif Fakrulloh, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Andi Nurpati, Wakil Ketua Pemenangan Pemilu Partai Demokrat, Andi Nurpati dan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro.
Saat membuka diskusi, Ketua Seknas Prabowo-Sandi, Muhammad Taufik, mengatakan, kenapa masalah e-KTP dijadikan tema diskusi, karena ia terus terang merasa gundah. Bagaimana pun e-KTP adalah instrumen penting dalam pemilu. Jadi salah satu syarat untuk pemilih dalam pencoblosan nanti. Jika di salah gunakan, ini akan merusak pesta demokrasi yang harusnya berjalan jujur, adil, bebas dan rahasia.
" Kenapa tema ini muncul? Karena saya kira ada kegundahan atas kejadian tertentu. Orang yang kurang waras boleh memilih. Lalu orang gila. Saya kira yang lalu itu orang gila enggak boleh. Ada 14 juta orang gila menurut data terlansir. Saya tak ngerti, makin hari makin banyak orang gila," katanya.
Taufik terus terang merasa khawatir, pemilu diwarnai kecurangan. Sebab sekarang pun bermunculan masalah dalam daftar pemilih. Ia mencontohkan adanya data 31 juta pemilih yang diduga tak ada di dalam DP4. Sementara DP4 adalah salah satu basis data bagi pemutakhiran daftar pemilih.
" Soal 31 juta. Jangan-jangan  dia di luar DP4. Sumber DPT itu kan DP4. Belum lagi ada ceceran KTP di mana-mana. Ini menimbulkan kecurigaan. Satu tahun ada tiga peristiwa menarik. Jatuh dari truk di Bogor, dijual online, ada penggandaan di Pasar pramuka. Pemilu itu harus berjalan demokratis, jujur dan adil. Enggak boleh sedikit pun ada kecurangan. Niat curang bolehlah, tapi jangan dilaksanakan. Saya kira janganlah. Kita mesti jaga ini," tuturnya.
Selesai Taufik memberi kata pembuka, diskusi pun dimulai. Wakil Direktur Data dan Info BPN Prabowo-Sandi, Nur Iman Santoso yang jadi salah satu narasumber mengatakan, baginya dalam sebuah kontestasi politik seperti pemilu, minimal ada tiga yang harus di pantau secara intensif. Yang harus dipantau itu, adalah dari sisi penyelenggara, masyarakat dan orang-orang yang berinteraksi saat pencoblosan.
 " Nah dalam pemilu nanti,  ada lima kotak, di Jakarta cuma empat kotak. Ini sesuatu yang menurut kami perlu kita perhatikan. Kadang-kadang kita berpikir pemilu jujur dan adil itu saat di
TPS. Tapi ternyata di TPS ada PPS, PPK, itu semua harus dipantau. Memang TPS adalah hal paling penting untuk sama-sama ke depan kita kelola dengan baik," katanya.
Iman mengaku masalah Daftar Pemilih Tetap hingga kini jadi sorotan. Karena dalam pemilu yang paling mendasar harus dijamin itu adalah DPT yang bersih dan valid. Selama DPT tak bersih, tentu pemilu yang jujur dan adil akan sulit terwujud. Di sisi lain, ada temuan-temuan terkait DPT. Ini yang terus dipantau oleh tim Prabowo.
" Tantangannya yang paling mendasar adalah DPT bersih. Temuan-temuan dari Pak Dirjen, parpol sudah disampaikan ke KPU. Kami apresiasi penuh Ditjen Dukcapil terus memantau. Beliau hadir terus untuk mendampingi. Kita pantau di mana kekurangan DPT ini. DPT terakhir masih terdapat hal yang perlu kita antisipasi. Mulai dari DP4, DPS, DPT Hasil Perbaikan (DPTHP) 1, DPTHP 2, DPTHP 3, sampai DPT final. Kami berharap cukuplah Desember ini DPT terakhir. Belum lagi masalah adanya blanko e-KTP yang dijual. Lalu e-KTP ditemukan di Duren Sawit," kata Iman.
Tugas timnya sendiri lanjut Iman adalah memastikan DPT final benar-benar valid. Persoalan e-KTP, memang bukan domain tim pemenangan. Tapi itu ranah Dukcapil. Namun karena saling terkait, ia berharap tak ada lagi permasalahan. Sehingga DPT benar-benar bersih. Pekerjaan berat memang memastikan pemilu jurdil. Terutama saat pemungutan nanti. Apalagi ini pemilu serentak yang pertama.
" Itu butuh waktu penghitungan, Pilpres  saja lebih dari empat hari. Butuh waktu penghitungan caleg DPR yang matriknya lebih banyak dan ribet, waktunya bisa dua kali lipat harinya. Belum lagi masuk penghitungan tingkat DPRD, dan DPD. Waktu menjadi sangat krusial. Makanya, Alhamdulillah Bawaslu punya orang di PPK," katanya.
Yang pasti, akurasi penghitungan jadi sangat penting. Pemilu jurdil tak akan ada apa-apanya kalau penghitungan tidak baik. Mesti dicegah, apapun praktek yang bisa menodai demokrasi. Sebab ada isu bahwa  penghitungan di-hack.
" Ya kalau memang parpol mengawal penuh di tingkat TPS dan titik tempat penghitungan, kita akan bertarung dengan manual. Sehingga bagi kami C1 dan turunan atasnya jadi hal fundamental untuk kita dapatkan. Berapa pun lamanya kita akan temani, kita akan pantau dan buat agar akurasi penghitungan kita sangat baik. Saya minta kepolisian untuk menjaga benar tempat kotak suara. Jangan sampai berpindah. Jangan sampai dimasuki orang-orang tidak bertanggungjawab. Apalagi kotak suara pakai kardus. Kalau alumunium sulit kena bakar. Kalau sekarang kertas kena bakar begitu mudah. Begitu banyak titik yang harus kita kelola. Tapi kita harus cermat lakukan penghitungn tingkat TPS," tuturnya.
Ia pun berharap KPU, Ditjen Dukcapil, atau Disdukcapil memberikan akses terbuka bagi siapapun. Dan ia juga berharap, pemantauan berjalan dengan baik. Terutama saat di hari pemungutan nanti di TPS.
" Mudah-mudahan DPT kita menjadi DPT bersih. Penghitungan punya akurasi yang baik dan pengamanan terhadap proses penghitungan menjadi penting," katanya.
Narasumber lainnya, Sekjen KIPP, Kaka Suminta juga menyoroti permasalahan DPT yang menurutnya masih menyisakan masalah. Kata dia, wajar jika kemudian publik khawatir bila pemilu 2019 di warnai kecurangan. Dan kekhawatiran itu, bukan kekhawatiran sepihak misal kekhawatiran kubu Prabowo atau Jokowi saja. Tapi ini kekhawatiran seluruh rakyat Indonesia.
" Â Khawatir ini bukan kekhawatiran subejektif dan sepihak tapi kekhawatiran seluruh bangsa Indonesia. Ada sesuatu yang membuat kita berpikir dan mencari tahu ada apa dengan DPT kita?"kata Kaka.
Ia pun membeberkan alasan, kenapa ia mempertanyakan ada apa dengan DPT yang disusun KPU. Kata Kaka, DPT itu harusnya sudah ditetapkan pada  tanggal 5 September. Tapi kemudian saat penetapan ada permohonan dari beberapa pihak antara lain dari Bawaslu dan partai politik yang minta penetapan DPT ditunda. Lalu  disepakati DPT ditetapkan dengan pencermatan.
" Di UU tidak ada dan belum pernah kita lakukan sebelumnya. Biasanya pada saat penetapan, ya selesai. Tapi KPU tidak mau katakan tidak ditetapkan, tapi sudah ditetapkan dengan pencermatan. Di hari ke-10 terjadi lagi permintaan dari KPU dengan tambahan waktu 60 hari. Dan terulang 30 hari. Saya hitung 100 hari. Angka-angkanya pun geserannya cukup besar," katanya.
Ia contohkan, dalam DP4, jumlah warga yang potensial jadi pemilih tercatat 191 juta sekian orang. Tapi kemudian KPU menetapkan DPT dengan jumlah 185 juta orang. Kalau dibandingkan dengan DP4, ada penurunan jumlah pemilih hingga 6 jutaan. Di sisi lain, Ditjen  Dukcapil mempunyai catatan tentang  adanya  31 juta data yang ditenggarai diduga invalid atau ganda. Belum lagi di luar itu,  ada 25 juta yang belum masuk ke DPT.
" Ini sesuatu yang mengagetkan," kata Kaka.
Belum lagi, dalam pemilu serentak nanti, akan ada lima surat suara. Kalau pemilihnya itu lebih dari 100 juta, proses penghitungan suara tak akan selesai sampai jam 9 malam. " Â Jadi kehawatiran itu penting jadi perhatian kita. Di dunia internasional, saat ini gangguan terhadap pemilu meningkat," katanya.
Kaka juga menyoroti pola komunikasi penyelenggara pemilu. Menurutnya, Â komunikasinya agak sulit untuk ditangkap publik maupun parpol . Sehinga informasi yang disampaikan ke publik atau ke tim capres, bahkan pengamat dan pemantau sulit dipahami. Kaka khawatir, pola komunikasi yang sekarang diperlihatkan penyelengaraan, membuat tim capres dan partai kesulitan membangun komunikasi.
" Misal menanyakan bagaimana kondisi sistem informasi pemilu. Sampai saat ini kita tidak punya bahan yang cukup bahwa bahannya cukup tangguh dan dapat kita percaya untuk hasilkan DPT yang baik. Saya tidak mengatakan buruk, tapi sulit dipahami publik. Kami sebagai pemantau kebutuhan kami dari hal komunikasi untuk kita sampaikan kepada publik bahwa kita akan menuju pemilu 2019 dengan aman. Tanpa informasi cukup saya kira agak sulit. Semoga di hari terakhir 15 Desember kita bisa menetapkan DPT," urai Kaka.
Karena itu kata Kaka, sangat penting bagi semua pihak terus memantau. Hari demi hari prosesnya mesti dipelototi. Karena dari DPT ini muara terakhirnya di TPS. " Saya harap tidak jadi pelesetan DPTHPHP (pencermatan hasil pencermatan)," katanya.
Sementara itu Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh, dalam paparannya sempat menyinggung soal batas akhir perekaman e-KTP pada akhir Desember tahun ini. Zudan juga sempat mengungkapkan capaian perekaman e-KTP. Katanya, capaian perekaman e-KTP  sudah mencapai 97,39 persen. Jadi sisanya kurang 2,6 persen lagi. Ia pun  berharap masyarakat yang belum merekam, terutama yang tinggal di apartemen-apartemen di kota-kota besar segera datang ke Dinas Dukcapil. Sementara bagi masyarakat yang aksesnya sulit, ia  hubungi Dinas Dukcapil atau Ditjen Dukcapil.
" Â Kami yang akan datang. Kami yang akan lakukan jemput bola ke kantor-kantor ke RT, RW sampai ke tempat-tempat dimana masyarakat berkumpul, kami akan datang untuk jemput bola," kata Zudan.
Sementara sisa yang belum merekam, kata Zudan, jumlahnya sekitar 4 jutaan. Ia berharap, sisa yang belum merekam, akhir tahun ini semuanya sudah merekam data. Tapi tentunya itu membutuhkan peran aktif masyarakat. Karena kerapkali ada warga ke keluar negeri tanpa pamit. Atau yang bekerja dan sekolah di luar negeri.
" Itu  masih terdata di dalam database di dalam negeri. Kemudian ada penduduk kita yang belum merekam. Nah mari pro-aktif untuk program nasional ini," katanya.
Pendataan sendiri lanjut Zudan, tak sekedar untuk kebutuhan pemilu saja. Tapi pendataan dilakukan terus menerus. Sebab e-KTP tak hanya digunakan untuk pemilu, tapi untuk layanan publik lainnya misalnya untuk mengurus BPJS.
" Kalau belum ada e-KTP kan enggak boleh mendaftar BPJS, untuk rekening bank, SIM, paspor atau untuk layanan-layanan publik ke depan itu semuanya akan berbasis e-KTP," katanya.
Terkait kasus tercecernya ribuan keping e-KTP di Pondok Kopi, Zudan meluruskan bahwa bahwa e-KTP yang di Duren Sawit bukan e-KTP yang tercecer, tapi  e-KTP yang sengaja dibuang. Sebab kalau tercecer itu misal tidak sengaja jatuh di pinggir jalan. Tapi yang terjadi di Duren Sawit ditemukan di tempat terbuka. Sehingga indikasinya kuat memang sengaja diletakan di situ.
" Sekarang kan Polda terus mendalami. Sudah memberikan laporan. Sudah mengerucut ke beberapa titik, tapi saya belum bisa membuka siapa yamg membuang itu karena sedang tahap penyelidikan," katanya.
Tenang kemungkinan ribuan e-KTP itu dibuang oleh oknum di dalam Ditjen Dukcapil, Zudan mengatakan, ia belum tahu, sebab sedang ditangani kepolisian. Ribuan e-KTP yang ditemukan, meski kadaluwarsa, tapi memang masih aktif. Sebab menurut UU, e-KTP berlaku seumur hidup.
" Jadi gini, e-KTP  yang dibuang di Duren Sawit berbeda dengan  penjualan blanko di toko online. Yang penjualan blanko e-KTP di toko online sudah tertangkap. Yang calo menawarkan pembuatan jasa e-KTP juga sudah ditangkap. Jadi dari 4 masalah  yang dua sudah tertangani," katanya.
Untuk kasus penggadaan e-KTP di Pasar Pramuka, menurut Zudan, sekarang sedang dikejar yang membuatnya. Â Termasuk yang membuang e-KTP Â di Duren Sawit, Jakarta. Â " Itu yang masih dikejar," ujarnya.
Zudan menambahkan, ia memang telah menginstruksikan untuk e-KTP yang kadaluwarsa atau rusak agar  digunting.  Dan memang SOP-nya dipotong di Dinas Dukcapil. Jadi, semuanya harus dipotong. Bahkan sejak bulan Mei 2018 semua yang ada di gudang Dukcapil Kemendagri sudah dipotong.
" Kita juga sudah instruksikan daerah untuk dipotong. Tujuannya ya untuk menghindari penyalahgunaan. Sementara soal dugaan adanya pemilih tambahan sebanyak  31 juta, sudah beberapa kali saya  jelaskan, itu enggak pernah ada," katanya.
Zudan juga menginformasikan, bahwa e-KTP generasi pertama dicetak langsung oleh konsorsium. Jadi pihaknya tidak tahu, apakah KTP yang kadaluwarsa atau rusak sudah dipotong atau belum.
"Nanti kalau sudah ketemu si pelakunya baru kita tahu, ini sedang kita dalami. Biar lempeng cara berfikirnya begini, orang yang diketahui membuang e-KTP baru satu kali ini, dan ini tindak pidana. Maka solusinya adalah sanksi tegas dan keras kepada orang yang membuang dokumen negara itu. Maka kehati-hatian kita secara internal itu semua dokumen e-KTP yang rusak tidak terpakai harus segera dipotong," tuturnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemenangan Pemilu Partai Demokrat, Andi Nurpati mengatakan, masalah DPT dari pemilu ke pemilu belum pernah tuntas sampai seakrang. Ia pun berharap,  niat  KPU dan pemerintah menjamin hak pilih warga dari pemilu ke pemilu harus semakin baik.
" Tapi yang paling urgen perbaikannya adalah di luar jadwal pemilu. Kewajiban itu ada di pemerintah, tidak di KPU. KPU itu hanya dalam kurun aktu satu tahun untuk persiapan pemilu. Maka pembenahan, perbaikan, pencatatan, pengevaluasian tentang validitas data penduduk kita ada di Kemendagri. Yang menjadi pertanyaan
kita adalah sejauh mana Kemendagri melakukan tugas ini pasca pemilu, update terus. Kita ini kan pemilunya banyak. Ada pilkada serentak. Sudah melaksanakan satu periode secara serentak. Kenapa data kita masih amburadul," tuturnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H