Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cara Denmark, Menambang Devisa dari Angin

7 Juli 2017   15:27 Diperbarui: 7 Juli 2017   18:43 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diperkirakan cadangan energi fosil akan cepat habis. Pertambahan populasi penduduk dunia, serta kian melonjaknya kebutuhan akan energi, membuat cadangan energi dari bahan fosil cepat menyusut. Terlebih lagi laju pertambahan kendaraan makin tak terkendali. Imbasnya terasa kepada kebutuhan energi. Apalagi masih sedikit kendaraan yang sudah memakai energi terbarukan. Memang di beberapa negara, sudah keluar mobil listrik atau mobil dengan energi tenaga matahari.

Energi terbarukan pun jadi isu yang mencuat kuat ke permukaan. Salah satu sumber energi terbarukan yang sekarang banyak dikembangkan adalah energi dari sumber tenaga matahari atau biasa disebut tenaga Surya. Sumber energi terbarukan lainnya yang dilirik adalah energi tenaga angin. Dua sumber energi terbarukan itu sumber dayanya sangat melimpah. Terutama di negara negara tropis yang hanya punya dua musim.

Soal energi terbarukan, sepertinya kita harus belajar banyak banyak kepada Denmark. Negara di beberapa benua biru Eropa itu, dianggap berhasil mengembangkan energi terbarukan dari sumber tenaga angin. Bahkan tak hanya berhasil mengembangkan, Denmark mampu mendulang devisa dari energi angin.

Thomas Friedman, wartawan sekaligus kolumnis dari New York Times dalam bukunya berjudul," Hot, Flat, adn Crowded : Mengapa Dunia Memerlkukan Revoluasi Hujau dan Bagaiman Kita Memperbagarui Masa Depan Global Kita," menyebut Denmark adalah negara yang berhasil mengembangkan energi terbarukan. Bahkan di Denmark energi terbarukan sudah jadi industri yang menghasilkan devisa yang cukup besar.

Menurut Friedman dalam bukunya, Denmark sukses menyulap angin jadi sumber devisa. Negara tersebut, misalnya untuk urusan listrik tak lagi pusing dengan kian tipisnya cadangan minyak fosil. Bahkan, ketika dunia dilanda cemas, karena turun naiknya harga minyak dunia, Denmark anteng-anteng saja.

Dikisahkan, tahun 70-an, terjadi embargo oleh negara penghasil minyak, terutama Arab Saudi, buntut dari perang Arab-Israel. Krisis minyak pun terjadi. Pada 1973, setelah krisis minyak berlalu, Denmark mulai berpikir untuk mengurangi ketergantungan mereka kepada energi fosil. Awalnya energi nuklir yang dilirik.

Tapi kemudian Denmark berkonsentrasi pada energi yang dihasilkan matahari dan angin. Tahun 2009, usaha Denmark mulai memperlihatkan hasil, 16 persen dari total kebutuhan energinya dipasok dari energi angin dan matahari,. Bahkan perlahan, ketergantungan terhadap energi fosoil dikurangi secara sifnifikan.

Kini Denmark jadi pengekspor turbin angin. Bahkan sepertiga dari semua turbin angin teresterial di dunia berasal dari Denmark. Miliaran dolar, devisa ditambang dari angin. Padahal tahun 1973, 99 persen energi yang digunakan di Denmark berasal dari energi fosil. Kini, ketergantungan itu telah dipangkas signifikan. Mungkin julukan yang tepat bagi Denmark adalah negara ' raja angin'.

Harusnya Indonesia berguru ke Denmark. Apalagi Indonesia punya modal besar. Angin yang melimpah, juga sinar matahari yang sama melimpahnya. Itu harta karun. Anugerah Tuhan yang tak terhingga. Mestinya Indonesia bisa memanfaatkan itu. Jika Denmark bisa, pasti kita pun mampu. Tinggal niat dan komitmen. Setelah itu tindakan. Jangan terus berhenti di wacana. Jangan tersendat dalam rencana. Aksi yang dibutuhkan.

Memang, mewujudkan energi terbarukan, bukan perkara mudah. Bahkan ongkosnya cukup mahal. Perlu riset. Perlu kajian. Tapi negeri ini banyak punya orang pintar. Tinggal negara, mau mendukung atau tidak. Jika tak sekarang, kapan lagi. Tidak mungkin kita terus menunggu, sampai minyak habis, lalu kemudian tergagap untuk bertindak. Toh, sekarang saja kita sudah jadi pengimpor minyak. Memang, masih ada cadangan. Tapi, lambat laun, itu akan habis. Mumpung minyak belum tamat, sekarang saatnya menuliskan kisah energi baru. Sekali terlambat, kita akan tergilas. Tetap akan jadi konsumen, bukan produsen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun