Kerja wartawan bukan pekerjaan mudah. Wartawan tak sekedar membuat berita. Tapi, ada tanggung jawab yang harus ditegakan dari setiap informasi yang dibewarakan. Karena itu, ada kode etik jurnalistik. Ada UU Pers yang jadi 'pagar' kerja jurnalistik.
Jadi, tak sekedar membuat berita yang sensasional, dengan judul yang bombastis. Tapi, fakta harus tetap diutamakan. Karena itu adalah nyawa berita yang dikabarkan. Sekali fakta dimanipulasi, atau diplintir, berita yang dipublikasikan akan bias. Sementara di satu sisi, harus diakui, media tak bebas kepentingan. Ruang redaksi pun, tak sepenuhnya independen. Kadang, pemilik modal, kerap ikut campur, menyelipkan pesan serta kepentingannya. Dalam kontek ini, jelas wartawan, si pencari informasi, dan penulis berita yang dituntut menjaga 'marwah' jurnalisme. Fakta, biarkan apa adanya. Tak boleh ditambah, apalagi diplintir.
Jika kemudian, sebuah pernyataan narasumber 'diplintir', tak hanya itu menyakiti si pemberi informasi, tapi juga secara tak langsung kita menjejali ruang publik dengan informasi keliru. Lebih jauh, kita telah mencederai kaidah-kaidah jurnalistik. Karena itu, hati-hati dalam membuat berita. Jangan karena dikejar kecepatan, kesetiaan pada fakta di abaikan.
Dalam peringatan puncak acara Hari Pers Nasional (HPN) 2016 di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Presiden Jokowi menyorot soal media yang semata mengejar rating, dan membuat sensasi. Judul-judul bombastis pun diumbar.
Padahal, salah satu tugas media, sebagai pilar demokrasi, adalah menumbuhkembangkan optimisme publik. Bukan, kemudian membuat gaduh dan riuh dengan berita yang acapkali tak sesuai fakta atau berisi kabar yang diplintir. Media memang harus kritis, karena punya tugas untuk jadi 'anjing penjaga'. Namun, tetap saja kekritisan insan pers tetap berpijak pada fakta, bukan bertumpu pada isu dan gosip.
Saya kira, pernyataan Presiden Jokowi ada benarnya. Salah satu jantung dari media, adalah setia pada fakta. Karena itu cek and ricek, adalah sebuah kewajiban yang tak bisa ditawar. Jangan, karena mengejar kecepatan, lantas itu diabaikan. Akhirnya, publik pun dijejali oleh informasi yang 'setengah matang' yang acapakali hanya berisi sensasi.
Saya kebetulan hadir meliput acara HPN 2016. Dan, di acara itu pula saya sempat mewawancarai Ketua Dewan Pers Bagir Manan. Saat itu Pak Bagir mengungkapkan, setiap tahun, tidak kurang dari 750 sampai 1000 keluhan disampaikan masyarakat kepada Dewan Pers, karena suatu berita siaran merugikan atau tidak mengandung kebenaran. Pak Bagir dalam wawancara itu, bicara tentang tantangan yang harus di jawab insan pers sekarang ini. Kata dia, ada kecenderungan pers menerapkan kebebasan secara berlebihan, atau bahasa populernya ”pers kebablasan”. Menyikapi itu, pers kembali harus dengan setia mengikuti azas dan kaidah jurnalistik. Tuntutan akurasi, kedalaman dan kelengkapan berita, mesti jadi langgam tugas insan pers di mana pun.
Rabu malam, 24 Februari 2016, saya sempat baca berita yang dimuat portalpiyungan.com, dan Islampedia.com. Isi beritanya memang cukup bombastis tentang pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo. Portalpiyungan.com misalnya menulis berita dengan judul : Mendagri Ancam Pangkas Aturan Wajib Jilbab di Aceh. Berita di Islampedia.com pun tak jauh beda. Saya pikir, ini pasti akan menuai reaksi. Benar saja, kemudian setelah muncul berita tersebut yang gencar disebar via media sosial, reaksi keras menanggapi berita di Portalpiyungan dan Islampedia.com, bermunculan. Rata-rata, reaksi yang muncul mengecam keras pernyataan Mendagri.
Apa benar Mendagri bicara seperti itu. Karena penasaran, saya pun coba mengklarifikasi ke Mendagri, Tjahjo Kumolo selaku narasumber yang mengucapkan pernyataan itu dan kemudian dikutip oleh media online. Via layanan blackberry messenger saya coba mengklarifikasi itu. Tidak menunggu lama, Menteri Tjahjo memberikan klarifikasinya via BBM.
Menurut Menteri Tjahjo dalam klarifikasinya, pernyataan dia disalahpahami atau dalam kata lain diplintir. Ia mengaku, tak merasa menyatakan itu. Maksudnya, tidak pernah menyatakan, bahwa dirinya akan memangkas Perda 'jilbab' di Aceh. Kata dia, pernyataannya tentang perda kewajiban memakai jilbab, bukan dalam kontek Aceh. Ia pun kemudian bercerita kronologis munculnya pernyataan yang kemudian menuai reaksi keras dari beberapa kalangan di Aceh. Saat itu, ia di wawancarai di Istana Negara, tentang rencana pemerintah memangkas perda 'bermasalah'. Ia pun kemudian kepada wartawan berbicara tentang pera-perda 'bermasalah' yang akan dicabut pemerintah, karena menganggu iklim investasi dan pelayanan publik. Dalam wawancara itu, ia juga mengungkapkan, bahwa ada juga perda yang berpotensi melanggar HAM.
Tidak lupa, kepada wartawan ia juga menceritakan tentang aturan yang dikeluarkan Wali Kota Banda Aceh tentang larangan perempuan pergi di atas jam 10 malam. Aturan itu sendiri bersifat sementara dan dibuat karena Aceh dalam situasi tak aman. Jadi, kalau sudah aman, maka aturan yang terkesan diskriminatif tersebut, mestinya dicabut.
Setelah itu, ia kemudian bicara tentang suatu daerah yang memberlakukan Perda kewajiban memakai jilbab bagi semua warga perempuannya. Padahal, daerah tersebut, bukan daerah yang memberlakukan nilai syariah Islam. Dan, penduduk di daerah tersebut juga beragam, ada yang beragama Islam namun ada juga yang bukan Islam. Tapi ia kaget, kenapa tiba-tiba pernyataannya itu dikaitkan dengan Aceh. Muncul berita bahwa Mendagri akan memangkas Perda keharusan berjibab di Aceh.