Kata sebagian orang hidup menjomblo itu tak enak bin tidak nyaman. Banyak yang kemudian mencibir orang yang lama menjomblo dengan cap tak laku. Atau yang ekstrem ada yang menyebut sebagai figur yang 'gagal produksi'.
Namun sebagian orang lagi menilai para jomblowan atau jomblo-wati sebagai sosok-sosok yang hati-hati. Mereka, adalah orang-orang yang penuh perhitungan, bukan orang yang asal pilih atau serobot. Mereka yang menjomblo, sedang menjalankan laku menelaah dengan mata batin juga rasa, mana yang punya kualitas aseli, mana yang KW.
Selain itu banyak juga yang menyatakan dengan menjomblo, lebih banyak kesempatan melakukan kreativitas serta inovasi. Dan, kerapkali, dengan status jomblo, inovasi lebih gampang diproduksi ketimbang yang gampang laku. Karena di dalam status jomblo, ada tantangan yang terjal, agar orang lain meliriknya. Bahkan orang dengan status jomblo kawakan, acapkali kemudian bisa tampil jadi orang dengan daya tarik unik.
Nah, ngomong-ngomong soal jomblo, bukan semata itu ada dunia asmara yang sifatnya personal. Tapi urusan jomblo menjomblo pun ada di dunia politik. Kini, yang terancam jadi jomblo di dunia politik adalah Pak Prabowo Subianto dengan Partai Gerindranya.
Pak Prabowo sekarang terancam menyandang status sendiri lagi. Koalisi Merah Putih, sebagai rumah perkawinan politiknya terancam bubar. Ibarat seorang suami, Pak Prabowo itu mulai ditinggalkan 'istri-istrinya'.
Kini salah satu istrinya yakni Partai Amanat Nasional, sudah menyatakan talak tiga, alias bercerai dari Pak Prabowo dan KMP. Meski, salah satu pinisepuh PAN, Pak Amien Rais tetap bersikukuh PAN masih bersama KMP. Tapi, dengan pernyataan resmi dari Pak Zulkifli Hasan, nakhoda baru PAN, bahwa partai berlambang matahari terbit itu sudah resmi gabung dengan koalisi pendukung pemerintah, itu seperti talak tiga politik bagi Pak Prabowo.
Padahal, selama ini bisa dikatakan PAN ini ibarat istri pertama Pak Prabowo. Karena dalam Pilpres, dengan kader PAN, yakni Pak Hatta Rajasa, Pak Prabowo mengarungi bahtera politik merebut tiket ke Istana.
Setelah PAN pergi meninggalkan, kini istri-istri politik Pak Prabowo lainnya dikabarkan juga akan memutuskan berpisah jalan dengan mantan Danjen Kopassus tersebut. Partai Golkar misalnya, mulai bersuara untuk meninggalkan KMP dan bergabung dengan koalisi pendukung pemerintah. Begitu juga dengan PKS yang mulai diisukan lebih memilih hengkang ketimbang bertahan di KMP.
Praktis, jika dua partai itu memutuskan pergi meninggalkan KMP, Pak Prabowo akan kembali menjomblo lagi. Rumah tangga politik KMP yang tadinya ramai pun akan kembali sepi. Lalu kenapa mereka meninggalkan Pak Prabowo?
Saya kira, penyebabnya hampir tak jauh berbeda dengan dunia rumah tangga istri dan suami. Salah satu pengikat, kenapa biduk sebuah rumah tangga bertahan, adalah karena nafkah lahir dan batin terjamin. Artinya, jika si suami bisa memberikan nafkah lahir dan bathin, bisa dipastikan istri akan tetap setia menemani. Tapi, jika nafkah lahir bathin gagal diberikan, kemungkinan besar istri bakal menggugat cerai, untuk kemudian memilih berpisah.
Begitu juga dengan rumah tangga di dunia politik. Sebagai istri pertama, PAN mungkin tak merasa mendapatkan nafkah lahir dan batin dari biduk perkawinan dengan KMP. Partai berlambang matahari terbit ini, mungkin tak puas mendapatkan nafkah hanya posisi Ketua MPR. Kemudian muncul rasa tak puas, nafkah politik yang diberikan tak sepadan. Sementara sebagai seorang suami, Pak Prabowo tak bisa memberikan nafkah yang lebih Katakanlah Partai Gerindra, sebagai 'lahan politik' untuk menafkahi para 'istri-istrinya' tak mampu memberikan sesuatu yang lebih, misalnya jatah menteri.