Memasuki tahun 2013, geliat panggung politik Indonesia mulai terasa. Apalagi, setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU), membuka kran pendaftaran bagi partai calon peserta pemilu. Puluhan partai pun berbondong-bondong datang ke Jalan Imam Bonjol, kantor KPU. Namun setelah dilakukan verifikasi, puluhan partai terjungkal, gagal melenggang ke gelanggang karena tidak memenuhi persyaratan perundang-undangan. Komisi pemilihan pun hanya meloloskan 12 partai. Awalnya, hanya 10 partai yang dinyatakan berhak maju gelanggang. Tapi kemudian bertambah 2 partai, setelah KPU kalah di pengadilan dan DKPP melawan dua partai yakni Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Keduabelas partai yang bakal maju dalam panggung pemilu, yaitu Partai Nasional Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrat Indonesia-Perjuangan, Golongan Karya, Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Hanura, Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Lalu setelah ditetapkannya para peserta pesta rakyat itu, panggung politik pun mulai gaduh. Koran dan televisi bertaburan iklan dan statemen politik. Di jejaring sosial pun tak kalah ramai. Lembaga survei pun tak mau kalah, mencoba memotret seperti apa wajah politik Indonesia saat ini, terutama menjelang hajatan besar di gelar.
Salah satu lembaga survei yang melansir hasil pollingnya menjelang akhir tahun ini, adalah Charta Politika. Pada 23 Desember 2013, Charta melansir hasil surveinya bertajuk, “ Refleksi Akhir Tahun 2013: Meneropong Pemilu 2014 Berdasarkan Survei,” di Jakarta. Menurut Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, survei yang dilakukan lembaganya adalah survei opini publik berskala nasional yang dilakukan pada 28 November – 6 Desember 2013 melalui metode wawancara tatap muka (face to face interview). populasi survei adalah seluruh warga negara Indonesia yang telah mempunyai hak pilih dalam pemilu atau telah berusia 17 tahun ke atas ketika survey dilakukan. Jumlah sampel pada survei ini sebesar 1,200 responden, dengan margin of error (MoE) sebesar +/- 2,83 % pada tingkat kepercayaan 95%. Sampel dipilih sepenuhnya secara acak (probability sampling) dengan menggunakan metoda penarikan sampel acak bertingkat (multistage random sampling), dengan memperhatikan karakter urban/rural dan proporsi antara jumlah sampel dengan jumlah pemilih di setiap provinsi
“ Unit sampling primer survei (PSU) ini adalah desa/kelurahan dengan jumlah sampel masing-masing 10 orang pada setiap PSU. PSU berjumlah 120 desa/kelurahan yang yang tersebar secara proporsional,” ujarnya.
Salah satu temuannya yang menarik dari survei nasional itu, kata Yunarto, adalah menguatnya gejala demokrasi kultus di tingkat partai politik. Ternyata, partai politik cenderung hanya jadi fans club. Gejala “demokrasi kultus” itu tampak dari menguatnya peran dan pengaruh tokoh-tokoh kunci partai politik. Pada batas-batas tertentu gejala tersebut mengkhawatirkan karena akan memperlemah penguatan pelembagaan partai politik.
“ Untuk melihat bagaimana fenomena “demokrasi kultus” kami menelusurinya melalui alasan dan pertimbangan masyarakat dalam memilih dalam pemilu 2014 nanti,” kata Yunarto.
Yunarto pun menerangkan, saat survei dilakukan, PDI-P berhasil menempati posisi teratas dengan angka elektabilitas sebesar 15,8%. Disusul Golkar 12,6%, Gerindra 7,8%, Demokrat 7,4%, PKB 5,9%, PAN 4,4%, Hanura 4,1%, Nasdem 3,9%, PKS 3,8%, PPP 3,8%, PBB 0,4%, PKPI 0,3% dan yang menjawab tidak tahu atau tidak menjawab 29,7%. Fakta lain yang ditemukan, ternyata 38,1% masyarakat yang mengaku memilih PDI-P saat survei dilakukan mengaku memilih partai banteng gemuk itu karena tertarik dengan figur Joko Widodo. Sementara 55,4% pemilih Gerindra mengaku memilih partai tersebut karena tertarik figur Prabowo Subianto. Lalu sebanyak 39,4% pemilih Demokrat mengaku memilih partai pemenang pemilu tersebut karena tertarik sosok Susilo Bambang Yudhoyono.
“Begitu pun dengan PAN, sebanyak 32,1% pemilih PAN mengaku memilih partai tersebut karena tertarik figur Amien Rais. Hanura juga begitu, 42% pemilih Hanura mengaku memilih partai tersebut karena tertarik figur Wiranto,” ungkapnya.
Di Nasdem juga samimawon, dimana 51% pemilih Nasdem mengaku memilih partai berslogan restorasi itu karena kepincut figur Surya Paloh. Pun di PKPI, sebanyak 40% pemilih PKPI mengaku memilih partai tersebut karena ada sosok Sutiyoso. Alasan yang berbeda ditemukan pada Partai Golkar, dimana 29% pemilih Golkar mengaku memilih beringin karena sudah terbiasa memilih partai tersebut. Sementara 40,8% pemilih PKB mengaku memilih karena menganggap PKB mewakili aspirasi Nahdlatul Ulama. Begitu pun di PPP, 37% pemilih mengaku memilih PPP karena menganggap partai berlambang Ka’bah mewakili aspirasi umat Islam. Tidak jauh berbeda dengan PKS, dimana 45,8% pemilihnya mengaku memilih PKS karena menganggap partai kader tersebut mewakili aspirasi umat Islam
“ Sama juga dengan PPB, sebanyak 66,6% pemilihnya mengaku memilih PBB karena menganggap wakil aspirasi umat Islam. Kesimpulan lainnya yang bisa kami temukan adalah ada empat partai islam yang tidak memiliki tokoh sebagai magnet electoral atau mengalami krisis figur,” katanya.
Fakta lain dari wajah politik Indonesia, menjelang pemilu digelar, adalah kian menguatnya Joko Widodo atau Jokowi dalam bursa capres. Hasil survei Charta, kenaikan elektabilitas Jokowi naik secara tajam. Tingkat elektabilitas Jokowi, naik secara fantastis dari 7,9% pada November 2012, menjadi 38,4% pada Desember 2013. Temuan lainnya, sosok Jokowi cenderung diterima di semua kalangan, hal ini dapat dilihat dari Jenis Kelamin baik laki-laki dan perempuan. Di hampir semua usia dibawah 19 tahun (47,9%) sampai dengan diatas 50 tahun atau lebih (39,2%), dan hampir di semua strata pendidikan masyarakat baik yang tidak sekolah (54,5%) sampai tamat S1 atau lebih tinggi (41,1%). Migrasi suara pemilih dari partai Golkar (31,8%), Gerindra (17,2%) dan Hanura (18,4%) terhadap elektabilitas Jokowi jika menjadi capres lebih kecil dibandingkan partai politik lainnya.
“ Secara internal Jokowi bisa diterima konstituen (pemilih) PDI-P dibandingkan sosok Megawati. Jika di cross tab Konstituen PDI-P yang memilih Jokowi sebagai capres 67,2 % dan hanya 10,6% konstituen PDI-P yang memilih Megawati jika menjadi capres,” katanya.
Tidak hanya itu, publik juga cenderung tidak menginginkan Jokowi menjadi Cawapres. Saat dilakukan simulasi pasangan, perolehan suara Jokowi selalu di atas 40% bila dipasangkan dengan siapapun. Namun bila Jokowi maju sebagai cawapres berpasangan dengan Megawati, perolehan suaranya turun 23,3%. Temun survei Charta lainnya, kata Yunarto, Jusuf Kalla ternyata cawapres paling favorit. Nama mantan Wakil Presiden itu, konsisten sebagai nama cawapres favorit semua capres.
“ Kecuali untuk Megawati, saat responden ditanya siapa cawapres yang paling tepat mendampingi Mega, responden menjawab Jokowi, sementara Wiranto dengan Harry Tanoe Soedibjo,” katanya.
Survei juga menemukan, saat responden ditanyakan siapa cawapres yang tepat mendampingi Aburizal Bakrie, sebanyak 14,8% responden mengatakan Jusuf Kalla paling tepat mendampingi ARB sebagai cawapres. Begitu pun, saat responden ditanyakan siapa cawapres yang tepat mendampingi Jokowi, 18,5% responden mengatakan Jusuf Kalla paling tepat mendampingi Jokowi sebagai cawapres
“ Saat responden ditanyakan siapa cawapres yang tepat mendampingi Pramono Edhie Wibowo, 9% responden mengatakan Jusuf Kalla paling tepat mendampingi Pramono Edhie Wibowo sebagai cawapres. Sebanyak 14.3% responden mengatakan Jusuf Kalla paling tepat mendampingi Prabowo Subianto sebagai cawapres,” tuturnya.
Terkait dukungan partai, survei Charta mencatatkan fluktuasi dukungan. Penurunan suara partai-partai yang mencolok terjadi pada Golkar dari 16,7% pada November 2012 menjadi 12,6% pada Desember 2013. Sementara kenaikan mencolok tampak dari PDIP dari 12,5% pada November 2012 menjadi 15,8% pada Desember 2013 dan terjadi pada Hanura dari 0.8% pada November 2012 menjadi 4,1% pada Desember 2013.
Lembaga survei lainnya, yang mencoba memotret wajah politik Indonesia menjelang pemilu 2014, adalah Indo Barometer. Lembaga survei pimpinan, M Qodari itu, di penghujung tahun, kembali melansir hasil surveinya bertajuk, “Political Outlook 2014: Pilihan dan Kemungkinan Capres dan Cawapres Pemilu 2014,” di Jakarta. Survei nasional Indo Barometer sendiri, menurut Qodari dilakukan pada 4 – 15 Desember 2014, di 33 provinsi di seluruh Indonesia dengan jumlah responden sebesar 1200 orang dan dengan margin of error sebesar ± 3,0% pada tingkat kepercayaan 95%.
Salah satu yang dipotret Indo Barometer dalam surveinya adalah tentang alasan responden memilih calon presidennya. Temuannya, responden yang memilih dengan alasan dekat dengan rakyat sebesar 27,7%. Sementara yang memilih karena alasan tegas 21,7%, berkinerja bagus dipilih 7,7 %, sedangkan responden yang memilih karena alasan bersih dari KKN sebanyak 5,0%.
Sosok capres yang berwibawa disukai oleh 4,4%, pintar dan intelektual digandrungi oleh 3,8%. Capres pengusaha disukai oleh 3,7%, sosok militer 2,6%. Sementara capres bijaksana disukai oleh 2,4 %. Sedangkan responden yang menyukai sosok yang sederhana sebanyak 2,3 %, yang berpengalaman dipilih 2,1%, sosok yang ramah disukai 2,0%. Lalu responden yang suka dengan figurnya sebanyak 1,7%, putra daerah dipilih 1, 6 %. Responden yang ingin perubahan yang lebih baik sebanyak 1,3%. Capresn berjiwa pemimpin disukai 1,2%. Dan capres orang partai hanya dipilih 1,2%
“ Lainnya 5,3% dan yang menjawab tidak tahu 3,1%,” kata Qodari.
Indo Baromater juga dalam surveinya memotret sosok cawapres seperti apa yang disukai publik. Hasilnya, cawapres yang paling banyak diungkap adalah calon tersebut bersih dari KKN (12,5%), disusul tegas (11,6%), pintar dan berpengalaman masing – masing (10%).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H