Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sekelumit Kisah Diaspora Insinyur Anak Negeri

17 Oktober 2011   13:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:51 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin, 17 Oktober 2011, saya ditugaskan kantor ke Lombok untuk sebuah acara. Dari Jakarta saya menggunakan pesawat Lion Air. Dalam jadwal pesawat harusnya take of, pukul 14.15. Tapi mengalami delay sampai 45 menitan. Tiba di Lombok, sudah magrib waktu setempat.

Waktu dalam pesawat yang membawa saya ke Lombok, iseng-iseng untuk membuang jenuh, saya mengambil majalan Lionmag, yang terselip dibelakang kursi di depan saya.

Isinya tulisan-tulisan dan catatan perjalanan wisata. Menarik memang, karena Indonesia begitu indahnya. Namun yang paling menarik dari isi Majalah Lionmag Edisi Oktober 2011 itu tulisan tentang penyerahan pesawat Boeing 737-900ER, yang dibeli maskapai Lion Air dari raksasa industri pesawat terbang Boeing.

Dalam tulisan itu diceritakan, penyerahan pesawat dilakukan langsung di pabrik Boeing, yang terletak di Seatle, Amerika Serikat. Pemilik Lion, Rusdi Kirana, yang datang langsung untuk menerima pesawat yang dibelinya dari Boeing.

Diceritakan pula, saat acara serah terima pesawat, Rusdi dipertemukan dengan para insinyur yang membuat pesawat yang akan memperkuat armada maskapainya di tanah air.

Ternyata, ada 30 Insiyur asal Indonesia yang bekerja di Boeing. Dan ikut menyumbang keahliannya dalam pembuatan pesawat Boeing 737-900ER yang dibeli Lion Air, dan akan dipakai mengarungi dirgantara nusantara.

Ke-30 insinyur itu adalah eks teknisi di IPTN, yang sekarang bernama PT Dirgantara Indonesia atau PT DI. Artinya ilmu anak-anak negeri sendiri yang dipakai untuk membuat alat transportasi yang akan dipakai ditanah air. Ironis memang.

Tonny H Soeharto, seorang insinyur yang sudah di level Lead Engineer, mengungkapkan di majalan tersebut, bahwa ketiga puluh teknisi eks IPTN itu sudah berstatus sebagai Senior Engineer.

Setelah membaca artikel itu, saya tertegun dan termenung. Di negeri sendiri, ilmu mereka tak ada yang menghargai. Bahkan negara seakan tak peduli, faktanya PT DI, rumah tempat mereka mengamalkan ilmu kini seperti di anak tirikan. Perusahaan itu kini seperti hidup segan, mati tak mau.
Dengan kondisi seperti itu, tak ada pilihan, akhirnya mereka memilih berdiaspora ke luar negeri. Ketimbang di negeri sendiri keahlian tak dihargai. Sementara tuntutan periuk nasi terus mendesak. Dan perusahaan sekelas Boeing justru yang lebih menghargai ilmu mereka.

Mungkin tak hanya mereka yang berdiaspora mengabdikan ilmunya dinegeri orang. Sangat mungkin cerita di Boeing juga ada di negara lainnya. Dimana dengan terpaksa para orang pintar dan cerdas ibu pertiwi yang berkarya di negara orang. Ilmu dan keahlian mereka pun dinikmati orang lain.

Saya tak menyalahkan mereka. Karena di negeri sendiri, yang lebih dibutuhkan negara, adalah politisi, bukan teknisi. Pada akhirnya, barang atau alat yang sebenarnya andil dari buah tangan anak negeri, di jual kembali ke tanah air. Bangsa kita pun terpaksa menjadi bangsa pembeli. Karena yang memproduksi terpaksa lari.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun