Lelaki penyerobot terdiam, tapi bukannya sadar, tapi kembali menyodorkan belanjaannya lebih dekat ke si kasir. Dan yang bikin jengkel, si kasir, mungkin karena terus di sorong-sorong akhirnya melayani juga.
Dan setelah selesai transaksi, si penyerobot segera dengan tergesa pergi ke luar. Penasaran saya tengok, ternyata ia datang pakai mobil jenis sedan yang kelihatan dari tongkrongannya seperti keluaran anyar.
Apakah ia seorang supir? Ah, rasanya bukan, karena pakaiannya terlihat bermerek, pun baju dan celana jeasnnya. Sandal kulitnya pun terlihat berharga mahal. Apalagi dia menenteng smartphone dua yang dari bentuk dan jenisnya, bukan yang harga ecek-ecek.
Kulitnya pun bersih. Jadi kalau ia supir pribadi rasanya saya kurang begitu sreg, jika melihat tampilan fisik dan aksesoris yang dipakainya.
Dalam hati saya hanya mengumpat. " Kaya, kaya kok tak tahu antri,"
Di depan si nenek mungkin belum habis jengkelnya, dan terdengar menasehati si kasir, agar jangan dilayani orang yang tak mau antri. Si nenek pantas marah dan dongkol, karena mungkin sudah cukup lama ia mengantri, tiba gilirannya ada yang menyerobot. Saya juga pasti jengkel jika sudah seperti itu. Lebih jengkel lagi yang nyerobot adalah lelaki parlente, bermobil pula.
Jika di negara maju, misal seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman atau di negara Eropa lainnya, aksi serobot antrian pastinya jarang terjadi. Karena di sana, budaya taat aturan sudah seperti jadi menu sehari-hari. Termasuk soal budaya taat antrian, yang kelihatannya sepele.
Bahkan, tak usah jauh-jauh mencari contoh sampai ke negeri uncle sam segala, bila ingin tahu bagaimana budaya taat hukum di praktekan dan seakan sudah menjadi menu dari runititas sehari-hari. Di negeri tetangga kita, Singapura misalnya, budaya taat hukumnya sudah begitu kuat merasuk pada keseharian masyarakat.
Mulai dari budaya peduli akan kebersihan dengan membuang sampah pada tempatnya, sampai yang terkecil rapi dalam mengantri. Tapi di sini, di tanah air, ah sepertinya masih jauh panggang dari api. Masih jauh dari tanah ke langit bila ingin disejajarkan dengan negeri singa. Budaya taat hukum di tanah masih rendah, setidaknya dari yang saya lihat dan alami.
Soal sepele saja kita tak taat, apalagi bila terkait soal yang besar dan ada duitnye. Budaya menerabas aturan seperti sudah biasa, mulai dari soal yang sepele hingga ke hal yang besar.
Lihat saja, betapa mubazirnya rambu-rambu lalu lintas, misal larangan parkir atau berhenti yang banyak terpasang di pinggir jalan. Karena walau sudah jelas di depan jidat ada larang parkir, toh banyak bus atau kendaraan dengan enaknya ngetem atau berhenti.