Siapa yang tidak tertarik memang, jadi orang nomor satu di DKI Jakarta. Bukan hanya prestise politik yang mempunyai nilai lebih, karena posisi Jakarta sebagai Ibukota Negara. Bisa jadi lewat DKI 1, jalur menuju Istana bisa terbuka. Faktanya Sutiyoso atau biasa di panggil Bang Yos, selepas menjadi gubernur ibukota sempat coba-coba mau jadi capres, sayang tak ada partai besar yang meminang.
Namun yang pasti, bicara Pilkada DKI, bicara juga fulus politik yang kencang. Pantas, bila Mendagri, Gamawan Fauzi, sampai melansir angka puluhan milyar yang harus dirogoh calon gubernur. Kata Gamawan, seorang calon gubernur bisa habis 30 milyaran, bahkan lebih. Karena untuk jadi bupati atau walikota saja bisa habis belasan milyar.
Soal mahar politik, mantan Gubernur Sumatera Barat itu juga tak menampiknya. Tapi memang tingginya fulus politik, tak sekedar kabar burung yang melamat samar-samar seperti angin, rumor dan gosip, tapi sudah jadi pengetahuan khalayak ramai.
Kata Pengamat Politik dari UGM, Abdul Gaffar Karim, praktek mahar politik sudah jadi gejala umum partai di Indonesia. Dari mulai hangatnya bursa pencalonan, argo tarif calon mulai kencang di bicarakan. Partai-partai yang punya suara signifikan, seperti berlomba memasang tarif. Gemericing fulus pun mulai masuk kantong partai, saat beberapa calon mulai unjuk ketertarikan.
Saat pencalonan masih jauh, tawar menawar harga 'sangu' pengikat pencalonan sudah hangat di beritakan. Dari awal pencalonan sampai resmi jadi gubernur nanti, gelontoran fulus sepertinya menjadi daya tarik nomor wahid untuk di pertimbangkan. Baru setelah itu visi dan misi. Meski elit partai selalu membantah tentang mahar politik itu.
Praktek mahar politik dalam pencalonan, kata Abdul Gaffar, motif utamanya karena partai memang butuh dana. Tapi praktek mahar, hanya menggiring partai mirip dengan lembaga bisnis, pencari dana lewat statusnya sebagai perahu politik bagi pencalonan. Sialnya, nyaris semua partai melakukannya.
" Kebanyakan parpol kita memang lebih nampak sebagai business enterprise ketimbang political institution," katanya.
Setidaknya, itu bisa dilacak pada perhelatan Pilkada DKI 2007. Kala itu salah satu tokoh yang mencoba maju gelanggang adalah Sarwono Kusmaatmadja. Dan Sarwono mengakui soal fulus politik itu.
Kala itu, insinyur tamatan ITB tersebut, demi memuluskan niatnya maju ke Pilkada, rajin sowan ke partai-partai yang mungkin akan meminangnya. Yang pertama, pintu politik yang diketuk adalah PDI-P.
Tapi namanya kemudian terlempar dari bursa, setelah gagal menarik minat Partai-partai untuk mencalonkan dirinya. Padahal Sarwono bersama Jefrie Geovani, pasangan bakal Cawagub-nya ketika itu, sudah berusaha melobi kesana kemari, dan rantang runtung ke kandang PKB dan PAN. Nasib politik nampaknya kurang mujur, sampai batas akhir pencalonan, batas suara 13 persen belum di kantongi Sarwono.
Sarwono pun harus mengubur angannya jadi orang nomor satu di ibukota. Biaya pastinya sudah keluar, seperti pengakuannya kepada pers ketika itu, bahwa dirinya sudah menghabiskan fulus kurang lebih Rp. 2 milyar yang dianggapnya sebagai sangu sarapan politik pencalonan.
Bukan hanya Sarwono yang gagal. Nama lain yang ketika itu mencuat, kemudian hilang dari peredaran adalah Agum Gumelar. Jenderal purnawirawan yang pernah menjabat Menhub di era Pemerintahan Megawati ini, berhenti melenggang ke gelanggang karena tak ada yang meminang. Lainnya yang gagal sebelum bertanding adalah, Bibit Waluyo, Jenderal bintang tiga dan mantan Pangkostrad (2002-2004).
Ternyata yang lolos, lalu menjadi pemenang adalah anak Betawi yaitu, Fauzi Bowo yang akrab di panggil Bang Foke. Anak Menteng ini bukan pula pendatang anyar di peta politik DKI. Karena Doctor Ingenieur dari Baungenieurwesen Universitat Kaiserlautern, Jerman, pernah tercatat sebagai Wakilnya Bang Yos, Gubernur DKI kala itu.
Fauzi berhasil mendapatkan dukungan partai-partai besar politik di DKI. Tidak tanggung-tanggung, dia di sorong oleh 11 partai. Pantas jika Foke menang.
Berpasangan dengan Mayjen Prijanto, Fauzi maju medan tempur, lalu memenangkannya. Pantas menang memang, karena Foke-Prijanto di dukung 11 partai. Tentu deru gemuruh mesin partai Foke-Prijanto paling hiruk pikuk di arena Pilkada Gubernur DKI pada 2007. Pastinya itu tidak berbiaya murah. Perlu oli pelumas yang mahal, agar mesin politik bekerja maksimal.
Penantangnya ketika itu adalah, Pak Adang Daradjatun, bekas Wakapolri (2005). Adang bisa maju gelanggang setelah dipinang oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jenderal polisi bintang tiga. kelahiran Bogor 13 Mei 1949, yang selalu terlihat tampil klimis kini ia legislator PKS. Kala Pilkada, Adang maju gelanggang
berpasangan dengan Dani Anwar, politikus made in PKS itu sendiri.
Faisal Basri, saat menjelang Pilkada 2007, sempat mencoba maju arena. Namun tak seperti yang lain bermodal tebal, ekonom UI jebolan Vanderbilt University, Amerika itu maju ke gelanggang pemilihan nyaris hanya bermodalkan idealisme.
Dosen FE UI yang sering tampil bersahaja, bersandal kulit itu, dari dulu memang di kenal dengan gagasan yang tajam dan kritis. Tapi bukan berarti Faisal tidak
pernah mencicipi atmosfir perpolitikan di tanah air.
Pada awal hiruk pikuk reformasi, dia pernah di pinang Amien Rais untuk membidani kelahiran Partai Amanat Nasional (PAN). Bahkan jabatan Sekjen PAN yang pertama di sandang lelaki yang suka menggunakan tas ransel tersebut. Tapi ironisnya, partai yang pernah di besarkannya dari awal kurang tertarik dengan pencalonannnya menuju kursi DKI-1. Justru Faisal mencoba peruntungan politik, lewat pintu PDI-P. Dan, tercatat kemudian pada Pilkada 2007, PAN menjadi pendukung Fauzi Bowo-Prijanto, satu shaf dengan 10 partai lainnya, di luar PKS.
Sepertinya Pilkada 2007, keberuntungan politik kurang begitu berpihak pada Faisal. Mungkin salah satu sebabnya menyangkut ”gizi politik” yang dimiliki Faisal yang kurang memberikan daya tarik bagi partai-partai.
Alhasil kisah pencalonan Faisal sama nasibnya dengan cerita pencalonan mendiang Cak Nur (Noercholis Madjid-red) pada konvensi Capres Partai Golkar medio 2004 silam, sama-sama terdepak karena kurangnya ”gizi politik”. Sekarang Faisal nyalon lagi, tapi lewat jalur independen. Tak lagi lewat perahu partai.
Dan kata Abdul Gaffar Karim, rumus politik yang berlaku bagi calon yang mau maju lewat perahu partai adalah : bayar daku, kau ku calonkan.
" Ya bayarlah daku, kau ku calonkan, itu yang berlaku," ujarnya.
Namun harap diingat pula, bayar daku itu tak hanya berlaku saat pencalonan saja, kata Abdul Gaffar.
“Harap diingat bahwa mahar itu baru DP saja. Sepanjang menjabat, sang kepala daerah akan terus dibebani "fee" politik oleh parpol,”katanya. Demokrasi pun kemudian menjadi mahal. Dan hanya sebuah pesta yang bicara harga dan ongkos politik, bukan panggung untuk menghasilkan pemimpin berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H