Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Amelia Belum Semujur Megawati

10 Agustus 2011   12:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:55 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Amelia Yani, putri Jenderal Anumerta Ahmad Yani

Amelia Yani, sebenarnya sama dengan Megawati. Sama-sama putri dari tokoh nasional. Amelia Yani, adalah putri kedua dari mendiang pahlawan revolusi Jenderal anumerta Ahmad Yani, yang terbunuh kala meletus peristiwa yang terkenal dengan sebutan G 30 S/PKI. Sementara Megawati adalah putri dari proklamator juga presiden RI pertama, Soekarno atau yang dikenal dengan sebutan Bung Karno. Keduanya adalah anak kandung dari orang yang pernah mengharu biru sejarah di republik ini. Bahkan, ayah kedua perempuan itu pernah hidup sejaman. Soekarno besar sebagai politisi sipil, sementara Ahmad Yani mencuat dari jalur militer. Kini, keduanya juga tercatat sebagai politisi perempuan. Namun dari sisi pengaruh Amelia memang belum semujur Megawati. Memang dari sisi lama berkiprah, Mega lebih dahulu turun gelanggang di panggung politik. Tapi Amelia, bisa dikatakan baru seumuran jagung naik pentas panggung politik. Mega pertama kali mencicipi panggung politik lewat perahu Partai Demokrasi Indonesia, biasa disingkat PDI-P. Sempat menjadi anggota MPR, bahkan pernah menjadi nakhodanya, sebelum kemudian di gusur oleh Surjadi dan kawan-kawan. Mega pun melawan. Kala itu kuku Orde Baru sedang kuat-kuatnya. Surjadi yang di sokong rezim berkuasa, secara de jure di atas angin. Namun de facto politik lain lagi, kendati di gusur pengaruh Mega kian membesar. Mega ternyata punya pendukung yang sangat loyal, yang berani melawan meski harus berhadapan dengan kekuatan gajah. Meletuslah peristiwa 27 Juli, yang sampai sekarang di anggap peristiwa perlawanan pendukung Mega yang paling heroik terhadap rezim yang berkuasa. Korban berjatuhan, terutama dari pendukung Mega, yang membuktikan bahwa loyalis Mega punya militansi kuat. Angin reformasi, yang diikuti dengan lengsernya Soeharto dari puncak kekuasaan, seakan membawa berkah bagi Mega. Lewat bendera Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Mega melajutkan karir politiknya. Di pemilu 1999, partai berlambang banteng moncong putih itu menang pemilu, meski tak terlalu mutlak. Tapi menjadi pemilik kursi terbanyak, menggusur Partai Golkar, mesin politik terkuat era Orde Baru yang harus puas di urutan dua. Sayang, seharusnya Mega bisa menjadi presiden, kala pemilihan di MPR. Namun manuver poros tengah yang dimotori Amien Rais, mampu membendung ambisi Mega menjadi RI-1. Kemudian yang menjadi presiden adalah KH Abdurahman Wahid, mantan Ketua PBNU, sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia, yang terkenal dengan sebutan Gus Dur. Gus Dur yang nyeleneh dan kontroversial pun, kekuasaan tak berumur lama. Perseteruannya dengan parlemen, pada akhirnya membuat posisi Gus Dur terjepit. Akhirnya lewat kasus Bulogate yang sampai sekarang tak bisa dibuktikan di Pengadilan, Gus Dur dipaksa lengser dari kursi presiden. Sidang Istimewa MPR yang diketuai Amien Rais, pendukung saat pemilihan presiden di MPR, mengetok palu, mengakhiri kekuasaannya. Gus Dur pun terjungkal. Mega yang saat itu menjadi presiden, otomatis naik menggantikan Gus Dur menjadi presiden. Setelah itu terpilih Hamzah Haz sebagai wakilnya, setelah dalam pemilihan di MPR, menyingkirkan calon RI-2 lainnya yaitu Susilo Bambang Yudhoyono, yang kelak justru menjadi presiden untuk dua periode. Kepemimpinan Mega di PDI-P, bukan berarti tak ada cobaan. Kala Mega dicalonkan lagi sebagai calon ketua umum, pencalonannya tak mulus. Meski terpilih tapi beberapa pendukung setianya, seperti Laksmana Sukardi, Roy BB Janis, Kwiek Kian Gie, Didi Supriyanto dan almarhum Sukoharjo Mintowaluyo, memilih pecah kongsi, dan membentuk perahu baru bernama Partai Demokrasi Pembaruan (PDP). Sayang partai sempalan itu, prestasi politiknya jeblok di pemilu 2009. PDI-P pun sebenarnya pamor politiknya makin menurun dari pemilu ke pemilu. Di pemilu 1999, PDI-P menjadi jawara, tapi di 2004, justru melorot kembali disalip Golkar. Bahkan dalam pemilihan presiden secara langsung yang digelar pertama kali, Mega yang berpasangan dengan KH Wahid Hasyim dikalahkan mantan anak buahnya di kabinet SBY-Jusuf Kalla. Pun di pemilu 2009, prestasi partainya kembali melorot, kali ini menjadi urutan tiga besar di bawah Partai Demokrat dan Golkar. Bahkan di pemilihan presiden 2009, Mega yang berpasangan dengan Prabowo Subianto, eks Pangkostrad kembali harus menelan kekalahan kedua kalinya oleh SBY yang kali ini berduet dengan eks Gubernur BI, Boediono. Dua kali Mega dikalahkan mantan anak buahnya. Sekarang Mega masih menjadi nakhoda di PDI-P, lewat kongres di Bali yang tanpa hiruk pikuk persaingan. Cerita Amelia Yani sendiri di panggung politik belumlah sepanjang Megawati. Amelia baru turun gelanggang politik di 2009. Ia mencoba membesarkan namanya lewat bendera Partai Peduli Rakyat Nasional atau PPRN, sebuah partai yang didirikan oleh pengusaha asal Medan, DL Sitorus. Amelia di daulat menjadi ketua umumnya. Namun tuah sang bapak sebagai pahlawan revolusi sepertinya tak membawa keberuntungan bagi Amelia. Tak seperti Mega, dimana sosok Bung Karno mampu menjadi magnet bagi pemilih PDI-P. Partai yang dinakhodai Amelia Yani pun jeblok prestasi politiknya. Bahkan tak mampu meloncati hadangan angka parliamentary treshold yang ditetapkan 2,5 persen. Alhasil, PPRN tak bisa melenggang ke Senayan, hanya mampu mendudukan wakilnya di beberapa parlemen daerah. Sama seperti Mega, kepemimpinan Amelia pun tak sepi goyangan. Jika Mega berhasil bertahan, sepertinya nasib Amelia lain lagi. Partainya dilanda perpecahan, sampai berujung pada keluarnya mosi tak percaya terhadap kepemimpinan Amelia di PPRN. Kolega di PPRN mulai mempertanyakan kapasitasnya sebagai ketua umum. Sampai kemudian mosi tak percaya itu berwujud dalam bentuk musyawarah nasional, dimana kemudian diikuti dengan penonaktifan Amelia sebagai ketua umum. Amelia pun melawan, membuat musyarawah tandingan versinya. Serta tetap menganggap dirinya ketua umum PPRN. Namun kawan yang kemudian menjadi lawannya di PPRN tak tinggal diam. Kisah gugat menggugat pun terjadi lewat jalur pengadilan. Amelia menggugat pihak Kementerian Hukum dan HAM, yang menganggap penonaktifannya itu sah, lewat jalur PTUN. Di PTUN, nasih mujur sementara menghampiri Amelia. Ia dimenangkan. Segera ia menuntut pihak Kementerian Hukum dan HAM, memproses kemenangannya di PTUN. Entah mengapa pihak kementerian yang dipimpin Patrialis Akbar itu, kemudian mengeluarkan SK, bahwa PPRN yang sah adalah di bawah kepemimpinan Amelia Yani. Padahal kementerian itu juga mengajukan banding atas putusan PTUN itu. Amelia sementara di atas angin. Kubu lawannya di PPRN jelas tak terima. Serta menuntut kementerian pimpinan Patrialis itu mencabut SK yang mengakui kepemimpinan Amelia. Terjadilah rebutan hak politik atas PPRN. Di tubuh PPRN pimpinan Amelia sendiri, bukannya tak sepi konflik. Sekjennya mbalelo dan coba melawan kepemimpinannya. Pecahlah kembali PPRN kubu Amelia, menjadi dua. Maka dengan begitu PPRN diklaim oleh tiga kubu. Sampai kemudian, keluarlah putusan Mahkamah Agung atas kasasi yang diajukan pihak Kementerian Hukum dan HAM. Putusan itu justru yang menganulir keputusan sebelumnya yang mengakui keabsahan Amelia sebagai ketua umum PPRN. Putusan itu membatalkan keabsahan PPRN kubu Amelia. Seperti berlomba dengan waktu, sebelum putusan MA keluar, Amelia sendiri menggelar musyawarah nasional luar biasa PPRN versinya, di awal Juli 2011. Salah satu yang menarik adalah, keputusan dari musyawarah nasional luar biasa yakni merubah nama PPRN menjadi Partai Pembangunan Nasional (PPN). Lewat partai barunya itu, Amelia akan menjajal kembali keberuntungan politiknya di pemilu 2014. Berhasilkah Amelia, memang belum bisa terjawab. Pemilu 2014 masih jauh. Tapi yang pasti, karir Amelia di panggung politik belum semengkilap Megawati di PDI-P. Amelia belum pernah mencicipi posisi sebagai anggota dewan, apalagi presiden seperti Mega. Partainya jeblok tak bisa melenggang ke Senayan, tak seperti PDI-P yang mampu bertahan di tiga besar. Amelia sekarang dengan partai barunya, memang belum semujur Mega. Atau justru Amelia tak akan pernah mampu mendekati Mega, yang mampu menegakan trah politik Soekarno. Trah Ahmad Yani yang mungkin saja di angankan Amelia lewat PPRN dan kini lewat PPN, akan tegak seperti trah Soekarno di PDI-P mungkin tak akan pernah terbangun. Sejarah Amelia memang belum selesai, setidaknya sampai sekarang putri pahlawan revolusi itu belum kapok untuk berpolitik lewat partai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun