Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wartawan Bukan Rasa Kapitalis

30 Juli 2011   18:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:14 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_126030" align="aligncenter" width="300" caption="wartawan yang mengaku anti kapitalis"][/caption] Seorang wartawan misuh-misuh, saat acara makan bareng, yang awalnya diagendakan di rumah makan padang, tapi kemudian berbelok agenda di sebuah restoran siap saji. Ia pun meledakan kejengkelannya. Maklum ia adalah penggemar berat masakan minang. Kian sempurna kecintaannya, karena dia memang berasal dari ranah Minang. Saking jengkelnya, niat makan bareng di rumah makan padang, ia sampai membawa-bawa istilah ekonomi kapitalis dan neo liberal, yang pernah terkenal di cuap-cuapkan oleh para kontestan pemilihan presiden 2009 kemarin.

Namanya, Syafril, usianya udah senior. Saya dan wartawan lainnya, biasa memanggilnya uda Syafril, sebagai bentuk penghormatan akan asal usulnya yang dari padang, tapi juga usianya yang sudah senior.

Ceritanya begini, bulan Juni kemarin, kami habis liputan dari Bandung. Berangkat pulang ke Jakarta, dari kota kembang memang agak pagi. Banyak yang tak sempat sarapan. Di bis, sudah ramai, nanti berhenti di rest area untuk mengisi perut.

Awalnya, pendapat yang ingin makan di rumah makan Padang, menguat, dengan kompornya adalah uda Syafril. Tapi saat bis yang membawa kami, masuk ke rest area, tiba-tiba ada suara tandingan, yaitu makan tak lagi di rumah makan Padang.

”Solaria, sekali-kali. Masa padang mulu. Solaria,” demikian pendapat tandingan itu.

Pendapat tandingan itu, langsung direspon dukungan. Banyak yang awalnya setuju mengisi perut dengan masakan padang, berbalik keinginan, sepakat makan di Solaria. Dukungan pada Solaria, kian kuat. Uda Syafril coba menandingi, tapi tak berhasil, arus kuat perut keroncongan ingin ke Solaria.

Karena kalah dukungan, wajah uda Syafril terlihat di tekuk. Saya sendiri, malas ramai-ramai dukung mendukung, duduk manis saja, sambil dimana berlabuh, dan perut bisa terisi.

Benar saja, acara mengisi perut, tak ke rumah makan padang, tapi ke Solaria. Bis pun di parkir tak jauh dari Solaria, restoran yang banyak juga gerainya di mall-mall besar di Jakarta. Uda Syafril sebenarnya ikut masuk ke Solaria. Ia duduk di meja terpisah dengan saya, agak berjarak. Tapi kemudian, dia keluar, dengan wajah di tekuk.

Saya sendiri, karena lapar, cepat pesan mie ayam. Tak lama pesanan datang. Karena lapar, semangkuk mie ayam pun dilahap dengan cepat. Usai makan, saya keluar Solaria, sekedar merokok. Lumayan lama sampai kemudian datang uda Syafril, menghampiri.

Basa-basi saya bertanya, ” Makan dimana uda?”

Uda menjawab tegas, ” Makan di rumah makan padang”

Tanpa diminta, setelah menjawab pertanyaan saya, uda Syafril langsung memberikan kuliahnya. Katanya, ia tak jadi makan di Solaria, karena saat pesan makanan, oleh pelayannya diminta bayar dulu di kasir. Ia meradang, lantas ’mutung’ keluar tak jadi makan, dan menuju rumah makan padang.

” Orang mau masuk rumah makan itu kan karena lapar. Tapi ini ditanya duit dulu, baru dikasih makan. Itu gaya kapitalis, gaya neo liberal,” katanya berapi-api. Saya hanya ngelet saja mendengarnya.

Uda pun melanjutkan ’kuliahnya’, kata dia, kalau semua orang Indonesia nurut-nurut saja di perlakukan seperti itu, sama saja memanjakan ekonomi kapitalis. Menurutnya, ekonomi ala Indonesia itu, seperti pelayanan di rumah makan padang.

” Orang lapar, dikasih makan dulu. Kasih minum dulu. Baru bayar. Itulah budaya ekonomi Indonesia. Bantu dulu orang lagi lapar. Itu namanya ekonomi bantu membantu Ini minta duit dulu,” katanya.

Sekarang, rumah makan besar di mall-mall, terutama yang siap saji, neo liberal semua, kata dia. Hanya rumah makan padang warung tegal saja yang enggak neolib. ” Itu yang tersisa, dari budaya ekonomi kerakyatan. Ekonomi bantu membantu,” ujarnya lagi, dengan wajah masih nampak kesal.

Itu kuliah, dari uda Syafril, wartawan dengan usia senior, pencinta nomor satu masakan padang. Bagaimana dengan anda....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun