Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pesta Demokrasi Nir Ideologi

25 Maret 2014   04:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:31 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejarah mencatatkan, pemilu 1955 adalah pertama kalinya Indonesia, menggelar pesta demokrasi. Tahun itu, adalah masa saat gegap gempita ideologi disuarakan lantang oleh partai-partai. Tercatat ada 172 partai yang jadi kontestan dalam pemilu pertama itu. Tapi, dari 172 peserta pemilu, hanya empat partai yang meraup suara signifikan. Keempat partai itu adalah,  Partai Nasionalis Indonesia yang mendulang suara 22,3 persen atau bila dikonversi dengan kursi mendapat 57 kursi. Lalu  Masyumi yang meraup 20,9 persen suara atau setara 57 kursi. Diikuti  Nahdlatul Ulama yang mendapat 18,4 persen atau 45 kursi, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berhasil mengumpulkan 15,4 persen suara atau setara dengan 39 kursi.

Para kontestan di pemilu pertama negeri ini, saling bersaing dan membedakan diri antar satu sama lain. Ideologi partai, menjadi pembeda antar satu konstestan dengan kontestan lainnya.  Partai Masyumi misalnya, adalah partai garda depan yang mengusung ideologi Islam. Sementara PKI, menjadi rumah politik bagi politisi yang mempercayai isme komunisme. Partai lainnya, seperti Partai Sosialis Indonesia (PSI), lantang menawarkan jalan sosialisme. Pun PNI yang setia dengan marhaenismenya.

Dalam platform partai pun, ideologi yang disuarakan, kental mewarnai. Segmentasi pemilih yang disasar pun lebih jelas garisnya. PSI misalnya, banyak menyasar kaum perkotaan. Sementara PKI dan PNI, besar di kalangan petani, buruh dan karyawan rendahan, serta kaum abangan. Sedangkan Masyumi kuat di kantong-kantong santri dan kalangan muslim moderat. Sementara Nahdlatul Ulama, pengaruhnya kuat di kalangan nahdliyin.

Tapi sejak orde lama bubar, dan digantikan rezim baru, dibawah kepemimpinan Soeharto, seorang Jenderal Angkatan Darat, pertarungan ideologis dipanggung politik dipaksa diredupkan. Rezim baru coba memberangusnya. Isme-isme yang selama ini menjadi warna partai, coba diseragamkan. Jumlah partai pun bertahap terus diperas, sampai hanya berjumlah tiga partai.

Di awal kekuasaannya, rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto, masih membuka sedikit kran kebebasan berpolitik. Pemilu pertama di era Orde Baru, yakni pemilu yang digelar pada 1971, masih diikuti oleh banyak partai. Tercatat, ada 10 partai yang menjadi kontestan dalam pemilu 1971. Kesepuluh kontestan itu, yakni, Partai Katolik, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Golongan Karya (Golkar), Partai Kristen Indonesia, Partai Musyawarah Rakyat Banyak, Partai Nasional Indonesia Partai Islam PERTI dan  Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia.

Tapi setelah itu, mulai dari pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997,  pesta demokrasi hanya  diikuti oleh 3 kontestan yaitu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pemilu pun, menjadi monoton, karena mudah ditebak. Tangan kekuasaan nyaris tak terbendung merekayasa pemilu. Hasilnya sudah bisa ditebak, partai 'bentukan' penguasa, yakni Golkar, selalu jadi jawara yang tak terkalahkan dalam setiap pemilu di era Orde Baru.

Konstelasi pun berubah, ketika Soeharto lengsernya dari kursi kekuasaan yang ia genggam hampir 32 tahun lamanya. Lengsernya Soeharto pun menandai babak baru sistem politik di Tanah Air. Kran kebebasan pun dibuka lebar-lebar. Partai politik pun tumbuh bak cendawan di musim hujan. Pemilu 1999 pun jadi tonggak baru pemilu pasca Orde Baru. Ini, pemilu pertama di era reformasi, sebuah sebutan bagi era setelah Soeharto lengser.

Sebanyak 48 partai menjadi kontestan pesta demokrasi yang pertama kali dilangsungkan usai Soeharto lungsur. Beragam nama partai tersemat, bahkan beberapa terasa 'asing' ditelinga. Tapi kran kebebasan, telah membuat banyak orang, mencoba peruntungan di panggung politik lewat partai.  Gairah untuk bikin partai dan ikut pemilu tak juga redup. Pemilu berikutnya yang digelar pada tahun 2004, partai yang berminat maju gelanggang masih membludak.  Setelah dilakukan verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemilu 2014, diikuti oleh 24 partai politik.  Sementara pada pemilu 2009, jumlah partai yang menjadi kontestan menyusut sedikit. Pemilu 2009 diikuti oleh 44 partai, terdiri dari 38 partai  nasional dan 6 partai lokal Aceh.

Kini, pemilu 2014, sebentar lagi dijelang. Tanggal 9 April 2014, sudah ditetapkan sebagai hari pemungutan suara. Sebanyak, 15 partai akan bersaing di gelanggang pemilu, memperebutkan suara. Kelima belas partai itu, terdiri dari 12 partai nasional dan 2 partai lokal Aceh. Menurut Pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Andi Syafrani, sejak orde baru melakukan penyeragaman sistem politik secara sistematis, perlahan tapi pasti ideologi meredup. Secara umum semua partai yang ada sekarang sudah tidak terlalu mementingkan ideologi. Fokus utama partai politik sekarang  adalah survive. Mereka hanya coba bertahan agar tidak tergerus parliamentary threshold.

“Dengan kondisi masih krisis eksistensi karena pertarungan melawan parliamentary treshold, ideologi tidak menjadi satu hal yang menarik pemilih,” katanya.

Karena itu, faktor pembeda yang harus  dibangun partai saat ini, ketika ideologi tak lagi menjadi 'jualan'  adalah kerja nyata yang berbasis pada kebutuhan konkrit dan isu-isu penting kondisional yang menarik perhatian publik seperti korupsi. Selain itu meredupnya ideologi, karena memang ideologi itu sendiri yang sudah semakin tidak jelas lagi bentuk dan keutuhan idenya.

“The end of ideology dalam politik mungkin sudah terjadi di Indonesia, bahkan sejak zaman Orde Baru,” kata Andi.

Andi menambahkan, persoalannya juga saat ini berapa banyak ideologi yang masih hidup, serta berapa  banyak pula partai yang bisa menampungnya. Menurut Andi, kondisi pertarungan ideologi akan lebih pas jika jumlah partai tidak banyak seperti di Indonesia. Jadi saat ini, sulit untuk memisahkan garis tegas ideologi tersebut. Andaipun partai-partai yang ada tersebut masih  memiliki ideologi dan mempertahankannya, maka dalam perdebatan soal UU atau kebijakan harusnya bisa terlihat.

"Misalnya bagaimana pandangan ideologi soal TKW yang  disiksa di luar negeri, soal lingkungan, soal sistem ekonomi dan lain-lain, semua partai baik itu yang disebut partai nasionalis, atau agamis  sama aja pandangannya, tidak distingtif secara ideologis," kata Andi.

Pengamat Politik dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Fahrudin pun, satu suara. Menurut dia, partai sekarang ini, sudah lepas dari kodratnya sebagai fungsi untuk menyalurkan aspirasi dan mengolahnya menjadi kebijakan. Era globalisasi membuat semua hal bergerak dalam pendulum pragmatisme. Apabila perekat partai adalah ideologi, maka hampir tidak nampak lagi parpol yang masih bersikukuh terhadap ideologi tersebut. Sebut saja misalnya dalam fenomena koalisi pengusungan kandidat Pemilukada, tidak jarang hanya dilakukan untuk kepentingan jangka pendek semata untuk meraih tiket kontestasi pemilihan kepala daerah.

"Tidak ada pertimbangan ideologi disana, mereka hanya disatukan oleh kepentingan jangka pendek semata," kata Wawan.

Oleh karenanya, kata dia,  tidak jarang misalnya PKS berkoalisi engan PDS, atau PDI-P yang dalam konteks nasional beroposisi dengan Partai Demokrat namun di beberapa daerah dapat bergandengan tangan untuk memenuhi kuota minimal yang dipersyaratkan UU untuk mengusung seorang calon maju Pemilukada. Yang terjadi kemudian hanya quasi persaingan yang berbasis pada sistem kartel politik.

Sementara itu, Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), Boni Hargens, mengatakan, ranah politik saat ini bukanlah dunia yang tegas ajeg secara hitam -putih. Maka wajar bila  muncul istilah tiada kawan yang abadi. Karena yang ada adalah hanya kepentingan.  Dan itu pula yang sekarang terpampang di arena politik dari pemilu ke pemilu sejak era reformasi. Politik adiluhung pun hanya omong kosong di Indonesia. Bahkan dengan nyinyir Boni menyebut, dunia politik Indonesia saat ini tidak berbeda dengan lapak bisnis. Untung rugi jadi ukuran.

"Tidak ada akar ideologi lagi. Dan ketika akar ideologi sudah tercerabut,  pastinya dasar karakter partai pun tidak akan terbangun," kata dia.

Hasilnya, kata Boni, perilaku pragmatisme yang akut. Kepentingan adalah nomor satu. Kesetiaan pada ideologi pun ditempatkan pada nomor sepatu. Maka tidak heran, bila dulu gagah merasa menjadi lawan paling lantang terhadap kekuasaan. Namun ketika ada peluang mereguk nikmatnya kekuasaan, langkah merapat dengan berbagai dalih di pertontonkan tanpa malu-malu.

" Siapa yang konsisten dengan ideologi dan tegak berdiri memperjuangkannya dengan prinsip seperti Natsir atau Hatta saat ini? Tidak ada sama sekali,"cetus Boni.

Pendapat  sinis juga di ungkapkan Inteletual Muda NU, Guntur Romli. Menurut dia, fenomena tiada kawan abadi dalam politik, pangkal sebabnya ada di karakter ideologis partai yang sudah digerus habis oleh syahwat kekuasaan. Partai bukan dibangun dengan dasar ideologi yang kuat, namun berorientasi pada kekuasaan semata. Tidak ada ikhtiar, bagaimana ideologi diperjuangan dan menjadi spirit dasar dari kekuasaan yang hendak digapai.

" Tidak ada sama sekali. Maka tidak heran, bila dulu lawan sekarang malah menjadi kawan. Itu karena syahwat kekuasaan," ujar Guntur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun