Pada 2015, Indonesia akan menghadapi babak baru dalam tata pergaulan dengan negara-negara satu kawasan, Asia Tenggara. Tahun 2015, nanti adalah tahun dimulainya, Asean Free Trade Area (AFTA). Dengan AFTA, sekat-sekat yang selama ini menghambat antar negara se-Asia Tenggara, akan sirna. Indonesia, bersama negara peneken traktat AFTA, menjadi satu community.
Maka, ketika tak ada sekat, persaingan ketat pun tak terhindarkan. Daya saing, jelas menjadi nilai jual sebuah negara, bila ingin tampil lebih depan di medan AFTA. Transparansi pun, menjadi sebuah keharusan. Tanpa transparansi di semua sektor, kepercayaan tak bisa dibangun. Indonesia, jelas sedang mengalami masalah, bila bicara tentang transparansi.
Sudah bukan rahasia lagi, bila perilaku korup, seakan telah jadi virus yang menjangkiti semua sektor. Pungutan liar, di negeri ini, seakan jadi budaya. Menyuap untuk mendapat proyek, sepertinya pun sudah biasa. Sebuah wajah buruk yang harus segera dienyahkan dari bumi pertiwi. Bila tidak, Indonesia akan tertatih-tatih di medan AFTA. Bahkan tak mungkin hanya akan jadi penonton. Besarnya jumlah penduduk, yang mestinya jadi kekuatan dahsyat mengarungi era AFTA, bisa jadi hanya akan menjadi pasar saja bagi pendatang.
Kabar buruk tentang wajah bopeng tranparansi di Indonesia, datang dari Laporan Corruption Perception Index (CPI) atau indek persepsi korupsi, yang dilansir Transparency International (TI). Pada 3 Desember 2013, saya beruntung mendapat rilis persnya yang dikirimkan lewat surat elektronik. Dalam laporannya, TIIÂ masih menempatkan Indonesia dalam posisi yang tak menggembirakan. Dari 117 negara yang disurvei, Indonesia menempati peringkat 114.
Tiap tahunnya, organisasi yang berbasis di Berlin itu, mengeluarkan rangking Indeks Persepsi Korupsi. Indek ini menjadi acuan situasi korupsi suatu negara. Indek persepsi korupsi itu sendiri, merupakan indek gabungan. Indek ini untuk mengukur persepsi korupsi secara global yang berasal dari 13 data korupsi yang dihasilkan berbagai lembaga independen kredibel.
Indek ini dipakai untuk membandingkan kondisi korupsi di suatu negara terhadap negara lain. Jadi indek persepsi korupsi sebagai alat ukur untuk mengukur tingkat persepsi korupsi di sektor publik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan politisi.
Menurut TII, dalam mengukur indek persepsi korupsi, digunakan skor. Skor yang digunakan untuk menentukan peringkat indek persepsi korupsi suatu negara, dimulai dari rentang skor 0 sampai 100. Skor 0, menunjukan situasi atau kondisi negara yang sangat korup. Sementara skor 100, adalah skor untuk negara yang bersih dari korupsi. Dalam laporan Indek Persepsi Korupsi 2013, dari 117 negara yang disurvei, enam negara memiliki skor tertinggi. Enam negara tersebut adalah Denmark dan Finlandia dengan skor 91. Di bawahnya Selandia Baru dan Swedia yang mendapat skor 89. Berikutnya, Norwegia dan Singpura dengan skor 86.
Masih menurut laporan TII, dari 117 negara yang disurvei, negara yang bersih dari korupsi sangat sedikit. Kebanyakan negara masih korup. Dalam laporan TII tahun 2013 itu, sekitar 70 persen dari 117 negara yang disurvei masih masuk dalam kategori negara korup. Skor mereka ada dalam kisaran dibawah 50. Atau rata-rata mendapat skor 43.
Nah, Indonesia sendiri, berada dalam peringkat 114 dari 117 negara yang disurvei. Tentu bukan posisi yang menggembirakan. Dalam laporan TII, Indonesia mendapat skor 32 bersama Mesir. Indonesia, hanya lebih baik dari Nepal dan Vietnam, tapi lebih buruk dibanding Ethiopia. Namun dalam laporan TII itu, untuk lingkup Asia Pasifik, peringkat Indonesia lebih baik ketimbang negara seperti Vietnam, Timor Lesta dan Myanmar. Tapi jika dibandingkan dengan negara seperti Hongkong, Taiwan, KoreaSelatan, Cina, atau Filipina, bahkan Singapura, Indonesia jauh ketinggalan. Bahkan dengan negeri tetangga terdekat, peringkat Indonesia masih kalah jauh. Malaysia misalnya, mendapat skor 50. Brunei pun, skornya jauh lebih baik ketimbang Indonesia. Negeri mini itu, mendapat skor 60. Sedangkan Thailand, mendapat skor 35.
Dengan skor seperti itu, Indonesia memerlukan 8 poin lagi agar mendapat skor rata-rata Asia Tenggara. Sementara peringkat terendah dihuni oleh Sudan Selatan dengan skor 14, lalu Sudan yang mendapat skor 11. Sementara Afghanistan, Korea Utara serta Somalia, sama-sama mendapat skor 8.
Bila melihat skor tersebut, jelas Indonesia memerlukan langkah-langkah konkrit untuk memperbaiki peringkatnya. Terutama langkah penguatan sistem integritas di institusi-institusi strategis di bidang hukum, politik dan bisnis. Di bidang hukum, institusi penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, adalah yang harus diprioritaskan untuk diperkuat. Sedangkan di bidang politik, lembaga seperti parlemen dan partai politik yang harus menjadi perhatian serius. Lembaga ini, di mata publik sudah dinilai bobrok. Sedangkan lembaga di bidang bisnis yang rawan korupsi, adalah institusi yang berwenang mengeluarkan perizinan, lalu lembaga di bidang ekspor-impor, pajak, bea cukai, serta dalam proses pengadaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H