Jumlah TKI di luar negeri, menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sebanyak kurang lebih 6,5 juta orang. Dari 6,5 jutaan pekerja migran kita di luar negeri, 4,3 juta diantaranya bekerja di sektor informal, menjadi pembantu rumah tangga, buruh di perkebunan dan pekerja di proyek bangunan serta lainnya.
Arab Saudi, menjadi negara tujuan paling favorit bagi para TKI yang bekerja di sektor informal, terutama yang menjadi pembantu rumah tangga. Negara lainnya yang favorit dituju adalah Malaysia dan Hongkong. Ketika sawah kian menyempit dan desa tak lagi menarik minat, maka urbanisasi ke kota tak dapat dibendung. Sementara lowongan kerja yang tersedia tak sebanding dengan membludaknya angkatan kerja tiap tahunnya. Akhirnya, mereka sikut-sikutan di kota. Ditambah lagi, banyak diantara angkatan kerja yang datang ke kota tak membekali diri skill. Sektor informal pun, terpaksa jadi pilihan. Di sektor pinggiran mereka berjubel.
Sisanya yang tak terserap di negeri sendiri, mengadu peruntungan ke negeri orang. Banyak yang beruntung, tapi juga banyak yang bernasib buntung. Bahkan, ada yang terpaksa mengakhiri hidup karena terjerat kasus, contoh terbaru Satinah misalnya. Padahal jasa mereka kepada negara tak terhingga. Mereka adalah pendulang devisa. Kurang lebih seratus trilyun setiap tahunnya,  devisa dari para TKI seluruh dunia yang disumbangkan kepada negara. Mereka adalah pahlawan.
Di era Asean Free Trade Area (AFTA), tak bisa kita terus menerus mengandalkan para pekerja migran di sektor impormal. Kita harus merebut pula, sektor informal. Tentu bukan perkara mudah, butuh persiapan dan dukungan semua pihak. Angkatan kerja mesti punya bekal menyongsong era pasar bebas nanti. Penguasaan skill menjadi syarat mutlak. Pun penguasaan bahasa internasional. Sebab, kabarnya negara lain sudah berkemas lebih dulu, menyiapkan para angkatan kerjanya dengan penguasaan bahasa internasional.
Bila kita tak siap, karena angkatan kerja kita kalah bersaing dari sisi skill, boleh jadi nanti pos-pos penting di sektor formal di negeri ini, dikuasai oleh pekerja pendatang. Jangan sampai seperti itu. Karena itu, negara mesti menyiapkan segala perangkat pendukungnya. Dunia pendidikan, harus terus ditingkatkan kualitasnya. Balai pelatihan mesti di perbanyak.  Harus ada regulasi yang mewajibkan agen pengiriman tenaga kerja, untuk melatih para calon tenaga kerja agar bisa menguasai bahasa internasional. Para pekerja yang akan mengadu nasib di negeri seberang pun, mesti diberi pemahaman tentang tata etika serta budaya negara yang dituju. Sehingga tak ada gegar budaya, ketika mereka sudah bekerja di sana.
Sehingga, bila semua angkatan kerja siap dengan bekal skill, mereka akan bekerja tidak sekedar mengepel lantai atau mencuci piring. Boleh jadi, dari posisi supervisor hingga manajer, di isi oleh anak-anak Indonesia. Begitu juga di dalam negeri, pekerja domestik harus jadi tuan di negerinya sendiri. Bukan justru mereka terdesak dan terpaksa hanya bekerja di sektor marginal.  Jangan ada lagi Satinah, Satinah lain nanti di era AFTA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H