Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Warga Pun Memasang Tarif Berkampanye

31 Maret 2014   20:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:15 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Musim kampanye terbuka telah dimulai. Kampanye yang selalu identik
dengan konvoi massa dan hiburan dangdutan itu, akan berlangsung mulai 16 Maret sampai 5 April 2014. Hari Minggu, 16 Maret 2014 adalah hari pertama kampanye terbuka. Semua partai pun langsung tancap gas berkampanye.
Namun, di hari pertama kampanye terbuka, model pengerahan massa selalu menjadi pilihan partai. Ribuan massa pun dikerahkan, untuk memadati lapangan tempat dihelatnya kampanye terbuka. Tidak lupa, disediakan pula pertunjukan musik untuk menghibur para simpatisan. Goyang massa pun lebih dominan di arena kampanye, mengalahkan orasi para jurkam
yang hadir.
Padahal, model kampanye dengan pengerahan massa, apalagi yang dibumbui dengan pertunjukan goyang dangdut, selain rawan gesekan dan kecelakan, tapi model kampanye itu juga memerlukan biaya tak sedikit.
Mendatangkan artis penghibur tentu tidaklah gratis. Serta bukan rahasia lagi, bila massa yang datang ke arena kampanye mesti diberi 'sangu'. Maka, model kampanye dengan pengerahan massa plus disertai dangdutan, adalah model kampanye 'berharga' mahal.
Pada Minggu sore kemarin, saya tak sengaja menguping obrolan beberapa warga di sebuah warung kopi di bilangan Jakarta Selatan. Salah satu tema yang dibincangkan adalah tentang tarif untuk ikut berkampanye.
Salah seorang warga, yang kemudian diketahui bernama Dayat, mengatakan, bahwa dia pada hari pertama kampanye terbuka, di datangi temannya yang mengajaknya ikut kampanye salah satu partai peserta pemilu. Dayat yang berprofesi sebagai supir pribadi, mengaku awalnya dia tertarik ikut untuk berkampanye. Apalagi ia diiming-imingi sejumlah rupiah sebagai 'sangu' kampanye atau dalam istilah dia, uang bensin.
" Gue tanya, berapa dikasihnya. Ternyata cuma 40 ribu. Yahhh, untuk
apa. Gue bilang, kalau 100 ribu, gue ikut. Kalau cuma 40 ribu, mending tidur saja dirumah, istirahat. Dia bilang, ntar balik lagi, nanya dulu ke yang pegang duitnya.  Eh, tak balik-balik lagi," kata Dayat, menceritakan kisahnya diajak kampanye oleh temannya dengan imbalan sejumlah rupiah.
Sambil menyeruput kopi, Dayat kembali melanjutkan ceritanya. " Waktu pemilu 48 partai, lumayan tuh. Dalam sehari, gue bisa ikut empat kampanye," ujar Dayat.
Penasaran, saya pun ikut nimbrung dalam obrolan mereka dan bertanya, bagaimana caranya dalam sehari bisa ikut empat kali kampanye. Sebelum menjawab, Dayat tertawa.
" Gampanglah mas, ada yang nawarin gue terima semuanya. Datang dulu sebentar ke kampanye yang satu, nongol bentar, terus pergi lagi ke kampanye yang lain. Lumayanlah walau panas-panasan," ujarnya.
Menurut Dayat, kampanye terbuka begitu-begitu saja, tidak ada yang berubah.  Berkonvoi ria sepanjang jalan menuju tempat kampanye, setelah itu dihibur oleh goyang dangdut biduan seksi. " Ya paling gitu-gitu saja, pawai, terus dangdutan," katanya.
Mamat, seorang Satpam, yang juga ikut mengobrol menimpali. Lelaki asal
Jawa Tengah itu pun mengaku tiap pemilu kerap ikut kampanye. Ia juga mengaku, mau ikut kampanye karena memang dibayar.  Kata dia, daripada suntuk dikontrakan, jik memang sedang off, ia pilih ikut kampanye.
" Lumayan dapat uang bensin,"katanya.
Tapi di hari pertama, Mamat mengaku belum ada yang nawarin dia ikut kampanye.
Padahal, kalau ada yang ngajak, ia akan berangkat berkampanye. " Mumpung lagi libur" ujarnya.
Saat ditanya, apakah orasi dari para jurkam disimaknya dengan serius, Mamat menjawab, ia tak terlalu memperhatikannya. Dalam benak dia yang diingat hanya uang bensin dan hiburannya. Bahkan, kalau arena kampanye sangat terik, begitu uang kampanye sudah ditangan, ia memilih
diam-diam balik kanan pulang ke kontrakannya.
Sikap Dayat dan Mamat, adalah realitas politik Indonesia saat ini. Realitas yang dibentuk oleh sikap dan perilaku elit politik yang lebih mengedepankan pragmatisme dalam menggapai ambisi politiknya. Inilah
buah yang harus dituai dari politik yang transaksional, dimana semua selalu dihargai dengan tarif tertentu.
Alih-alih elit dan partai mendorong pemilih untuk bersikap kritis dan rasional, justru yang terjadi merek mendekati khalayak dengan iming-iming rupiah. Rakyat pun, berjarak jauh dengan elit dan partai. Mereka akan mendekat, jika ada kompensasi materi. Memprihatinkan memang, tapi inilah buah yang harus dipungut, dari sebuah panggung yang ditopang oleh mahar dan transaksi jangka pendek.
serta serba instan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun