Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Matahari PAN Tak Kunjung Terbit di Ufuk Politik

5 April 2014   05:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:03 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat didirikan dulu,  seusai hiruk pikuk gerakan reformasi, Partai Amanat Nasional (PAN) jadi 'mataharinya' semangat reformasi. Apalagi, salah seorang yang membidani kelahirannya adalah Pak Amien Rais, salah satu tokoh reformasi. Maka, lambangnya pun bergambar matahari yang tengah bersinar. Pak Amien, menjadi ketua umum pertamanya di dampingi Mas Faisal Basri, sebagai Sekjennya. Pada pemilu 1999, PAN berada di urutan lima. Urutan pertama PDI-P, lalu diikuti Golkar, PPP dan PKB. Dulangan suara yang diraih PAN, sebanyak 7,1 persen. Cerita politik pun mencatatkan, kemudian Pak Amien, jadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Kala itu, pemilihan presiden masih melaui pemilihan di MPR. Pak Amien berperan penting melahirkan poros tengah, yang kemudian berhasil menghantarkan mendiang KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur ke tampuk kursi Presiden. Sementara wakil presidennya adalah Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P.

Tapi, kemudian sejarah juga mencatatkan Gus Dur tergusur lewat sidang istimewa MPR, dimana Pak Amien sebagai ketuanya. Jadi Pak Amien ini bisa dikatakan yang menaikan juga menurunkan Gus Dur. Semua orang pun tahu, sejak saat itu hubungan Pak Amien dengan Gus Dur, merenggang. Setelah Gus Dur mundur, naiklah Mega sebagai Presiden. Pada 2004, kembali digelar pemilu legislatif, sekaligus setelah itu dilaksanakan pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya. Di 2004, PAN menggelar kongresnya yang pertama. Hasilnya, Pak Amien terpilih jadi ketum. Sementara untuk posisi Sekjen tak lagi di jabat Mas Faisal. Untuk posisi Sekjen, didapuklah Pak Hatta Rajasa yang kelak jadi Ketua Umum partai matahari tersebut itu.

Pada pemilu 2004, PAN meraup suara sebanyak 6,4 persen, turun dari 7,1 persen pada pemilu 1999. Pada 2004 juga PAN pertama kali mengusung capresnya, yakni Pak Amien yang berpasangan dengan Pak Siswono Yudhohusodo. Saat itu, kontestan yang jadi pesaingnya adalah Pak SBY yang berduet dengan Pak Jusuf Kalla atau Pak JK dengan bendera Partai Demokrat, lalu Ibu Mega yang berpasangan dengan Kyai Hasyim Muzadi, yang diusung PDI-P, Pak Wiranto dan Kyai Solahuddin Wahid yang disorong Partai Golkar, terakhir pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar yang maju lewat PPP.  Sayang Pak Amien dan Pak Siswono gagal maju ke putaran dua Pilpres. Suaranya jeblok, hanya ada diurutan tiga. Dua pasangan yang berhak maju ke putaran dua, yakni Pak SBY-Pak JK dan Ibu Mega-Kyai Hasyim. Sejarah mencatatkan, Pak SBY dan Pak JK, keluar sebagai pemenang dan jadi presiden serta wakil presiden pertama yang dipilih secara langsung. Matahari PAN pun gagal terbit bersinar.

Setelah itu, PAN kembali menggelar kongresnya yang kedua. Tidak diduga yang terpilih adalah Mas Soetrisno Bachir, pengusaha yang namanya dulu adem ayem saja, alias tak dikenal kondang di panggung politik. Mas Tris, demikian panggilan akrabnya, sukses mengalahkan calon kuat yakni Pak Fuad Bawazier. Kabarnya, Mas Tris, sengaja dipasang oleh Pak Amien, yang tak rela, matahari di pimpin Pak Fuad.  Dalam kepengurusan di bawah Mas Tris, yang jadi Sekjennya adalah Mas Zulkifli Hasan. Pak Fuad sendiri kemudian pindah perahu ke Partai Hanura, partai yang didirikan Pak Jenderal Purnawirawan Wiranto, mantan Panglima TNI.

Menjelang pemilu 2009, kekompakan PAN goyah. Mas Tris saat itu berambisi menjadi capres. Iklan pun ditabur gencar lewat televisi dan baliho. Sayang ambisi itu runtas di tengah jalan, karena suara PAN jeblok. Di pemilu 2009, partai matahari terbit itu, hanya berhasil mendulang suara 6 persenan saja. Mendekati Pilpres 2009, internal PAN kian tak kompak. Mas Tris, lebih condong mendekati Pak Prabowo yang ketika itu sudah punya partai yakni Partai Gerindra. Mas Tris, ingin PAN berkoalisi dengan Gerindra, sehingga ia punya peluang maju bersama Pak Prabowo di Pilpres 2009. Posisi yang dibidik Mas Tris, adalah cawapres. Dan yang jadi capresnya adalah Pak Prabowo. Sayang, rencana koalisi itu layu sebelum berkembang.

Pak Amien and the gank, kemudian merapat ke kubu Pak SBY yang kemudian berduet dengan Pak Boediono. Awalnya, Pak Amien menjagokan Pak Hatta, sebagai cawapresnya Pak SBY. Tapi Pak SBY, yang ketika itu partainya, Partai Demokrat menjadi pemenang pemilu, lebih memilih Pak Boed. Jadilah duet Pak SBY-Pak Boed.  Kabarnya, Pak Amien sempat kecewa dengan pilihan Pak SBY, yang memilih Pak Boed jadi pendampingnya. Pak Amien kurang sreg dengan sosok Pak Boed. Sementara Pak Prabowo juga gagal jadi capres. Namun tak seperti Mas Tris yang tak jadi calon apa-apa, Pak Prabowo masih bisa menjadi cawapresnya Ibu Mega, setelah PDI-P dan Gerindra sepakat berkoalisi.

Pasangan capres dan cawapres lainnya yang jadi maju, adalah Pak JK dengan Pak Wiranto. Pak JK kali ini berpisah jalan dengan Pak SBY. Pak JK dan Pak Wiranto, diusung koalisi Golkar dan Hanura. Pak JK sendiri saat itu menjadi nakhodanya beringin, sementara Pak Wiranto adalah panglima Partai Hanura, partai yang didirikannya setelah ia keluar dari Partai Golkar. Di Pilpres 2004, Pak Wiranto adalah capresnya Partai Golkar, setelah menang di konvensi penjaringan capres yang diadakan partai tersebut. Sementara Pak JK, adalah pesaingnya Pak Wiranto karena ia memilih berduet dengan Pak SBY.

Pilpres 2009, hanya berlangsung satu putaran. Pak SBY yang berduet dengan Pak Boediono, keluar sebagai pemenangnya. Jadilah ia presiden untuk kedua kalinya. Sementara Pak Hatta, adalah ketua tim suksesnya Pak SBY-Pak Boed. Usai Pilpres, dan setelah Pak SBY dilantik, Pak Hatta masuk kabinet lagi. Sebelumnya, di periode pertama Pak SBY, Pak Hatta juga didapuk masuk kabinet, menjadi Menteri Perhubungan. Kali ini, di periode kedua Pak SBY,  Pak Hatta dipilih untuk menduduki posisi Menteri Sekretaris Kabinet. Tapi kemudian Pak Hatta dirotasi lagi, saat Pak SBY melakukan reshufle kabinet. Ia di naikan jadi Menko Perekonomian.

Di era ia jadi menteri, Pak Hatta terpilih sebagai Ketua Umum PAN, menggantikan Mas Tris. Yang jadi Sekjennya adalah Mas Taufik Kurniawan. Nah, menyongsong pemilu dan Pilpres 2014,  Pak Hatta juga punya ambisi seperti Mas Tris, ingin jadi Presiden. Tapi sepertinya, jalan Pak Hatta menuju Istana sangat berat. Matahari PAN, tak juga terbit. Masih tenggelam di ufuk barat panggung politik Indonesia. Belum terbitnya matahari PAN, terpotret dalam hasil sigi beberapa lembaga survei. Salah satunya, hasil survei Charta Politika, lembaga riset politik yang awalnya dikomandani Mas Bima Arya Sugiarto, pengamat politik yang kemudian memutuskan masuk PAN. Kini, komandan Charta adalah Mas Yunarto Wijaya.

Dalam sigi Charta, elektabilitas PAN alih-alih mencorong, justru malah meredup. Matahari PAN pun, tak kunjung terbit. Untuk menguji tingkat elektabilitas partai, Charta gunakan dua cara. Pertama dengan pertanyaan terbuka. Kedua dengan pertanyaan tertutup.  Klasmen tingkat elektabilitas partai dengan pertanyaan tertutup, hasil dari sigi Charta, PDI-P, ada di urutan pertama, dengan elektabilitas 18,8 persen. urutan dua, Golkar dengan elektabilitas 13 persen. Di bawahnya, Gerindra (9,8 persen), PKB (6 persen), Demokrat (5,3 persen) dan Hanura (3,8 persen). Sementara sinar elektabilitas PAN, cahayanya hanya 3,6 persen. Tidak terlalu menyilaukan mata pemilih memang.

Sementara untuk tingkat elektabilitas dengan pertanyaan tertutup, nomor hiji tetap PDI-P, dengan elektabilitas sebesar 21,2 persen. Nomor dua, Golkar dengan tingkat elektabilitas 16,4 persen. Untuk posisi tiga, ditempati Gerindra dengan raihan elektabilitas sebesar 12 persen.  menguntit di bawahnya, Demokrat dengan tingkat elektabilitas sebesar 8,0 persen. disusul, PKB (7,2 persen), PPP (5,1 persen), dan Hanura (4,8 persen).  Partainya Pak Hatta sendiri, tingkat elektabilitasnya hanya sebesar 4,5 persen, yang menempatkannya berada di posisi delapan, dari 12 partai peserta pemilu. Sinar matahari PAN, hanya sedikit lebih terang dari PKS, yang berada di posisi bawahnya. Partai kader ini, hanya mendulang tingkat elektabilitas sebesar 3, 2 persen. Di bawah PKS, bertengger partainya Pak Surya Paloh, Partai NasDem, yang hanya mendapat elektabilitas sebesar 2,6 persen, cukup kecil dan rawan terlempar dari klasmen politik nasional, karena angkanya kurang dari syarat parliamentary treshold sebesar 3,5 persen.

Bila melihat hasil sigi Charta, bisa dikatakan matahari PAN, belum juga terbit. Ia masih ada di ufuk barat. Belum juga muncul di ufuk timur menyinari panggung politik nasional. Kokok ayam Pak Hatta, sepertinya tak begitu nyaring untuk bisa membangunkan matahari PAN dari peraduannya. Padahal, iklan “Kerja Nyata” gencar di tayang di televisi. Tapi, itu pun tak cukup mendorong agar matahari PAN segera terbit di ufuk timur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun