Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Masihkah Kau Berguru pada Budaya Kami

4 Februari 2024   17:35 Diperbarui: 5 Februari 2024   06:17 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Pedro Lastra on Unsplash 

Meski seluruh semesta telah mengkiblatkan budayanya pada kami, mohon sekali lagi engkau cermati budaya kami. Sebab budaya kami teramat jauh dari kata sempurna, bahkan dibanding budaya paling rendah yang pernah ada.

Budaya kami adalah budaya ketinggian, sehingga tak menghendaki seorang pun lebih tinggi dari kami. Tak perlu kau heran jika kami tak pernah mampu duduk bersila sama rendah dengan siapa saja. Sebab budaya kami adalah ingin selalu dihormati, disanjung-sanjung, dielu-elukan sebanyak mungkin jumlah dan kadarnya, hingga ia mampu meledakkan seisi ruang di kepala dan hati kami.

Jika kami tengah berapi-api memproklamasikan penghormatan dan perlindungan atas siapa saja, maka itu tak lebih dari sebatas slogan yang teramat jauh dari isi hati dan perilaku kami. Tak perlu heran jika sesaat kemudian masih akan timbul penindasan di mana-mana selepas kami meneriakkan slogan-slogan tadi.

Masihkah engkau silau dengan budaya kami sehingga kau sudi menjadikan kami sebagai guru dari segala peradaban?

Ukuran peradaban kami adalah kemegahan dan kesenangan tak bertepi, tanpa seorang pun perlu bertanya dari mana dan bagaimana kami memperolehnya.

Pusat pengetahuan yang kami hidangkan adalah kepalsuan yang menjadi santapan utama bagi siapa saja yang ingin meredam lapar dan dahaganya atas data secara instan. Sebab kepongahan mereka atas pengetahuan tak sempatkan mereka untuk menimbang secara seksama bagaimana akibatnya terhadap kesehatan budaya mereka sendiri di masa depan.

Mereka pun menjadi jijik dengan keluhuran budaya sendiri dan menggantinya dengan budaya kami yang senantiasa bersyahwat untuk diagung-agungkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun