Masih begitu jelas dalam ingatan saya, pagi hari sebelum berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat ied, saya menyempatkan diri untuk mampir ke rumah salah seorang teman saya, Zidan (pseudonim).
Niat saya untuk mengunjunginya adalah untuk mengajaknya berangkat ke masjid bersama-sama dengan berjalan kaki, kebetulan jarak rumah kami dari masjid tidak terlalu jauh, yakni tak lebih dari satu kilometer.
Pada hari kemenangan yang begitu menyenangkan itu usia saya mungkin masih sekitar 10 tahun, sedangkan usia teman saya sekitar 12 tahun.
Zidan yang masih famili dengan saya ini memiliki enam orang saudara. Tiga orang laki-laki dan tiga orang perempuan.
Bapaknya berprofesi sebagai petani yang nyambi bekerja serabutan, sedangkan ibunya adalah guru pegawai negeri di salah satu SD negeri yang berada di desa seberang.
Seperti anak-anak pada umumnya, pada hari raya orang tua saya selalu memberikan baju baru ketika lebaran. Jumlah yang beliau berikan biasanya sebanyak dua pasang.
Namun, ternyata hal yang demikian tak terjadi pada teman saya, Zidan. Pada saat saya menanyainya di mana baju baru yang akan ia kenakan, ia hanya menjawab, ini saja sudah cukup.
Ia menjawab sambil menunjukkan pada saya salah satu baju yang biasa ia kenakan sehari-hari yang keadaannya masih belum diseterika. Akan tetapi baju tersebut telah terlipat rapi bersama baju-baju yang lain di atas dipan.
Di atas dipan yang terbuat dari kayu dan bambu itu pun tampak beberapa pakaian dari adik-adik Zidan yang telah dilipat dan ditumpuk dengan sedemikian rapi.
Melihat keadaan itu seketika hati saya menjadi nelangsa. Saat itu saya mendadak paham bahwa ternyata tidak semua anak bisa mendapatkan keberuntungan yang sama, yakni memakai baju baru ketika hadirnya lebaran, seperti yang telah dialami oleh sahabat karib saya sendiri, Zidan.