Jika seluruh alam semesta ini adalah media yang digunakan untuk menampung kalimat atau ilmu yang dimiliki Tuhan, maka sudah barang tentu ia takkan pernah cukup untuk dapat menampung keseluruhannya.
Jangankan seluruhnya, bahkan dalam jumlah satu persen pun ia takkan sanggup untuk memuatnya. Di dalam QS Al-Kahfi ayat 109 telah dijelaskan:
Qul law kaana al-bahru midaadan likalimaati Rabbii lanafida al-bahru qabla an tanfada kalimaatu Rabbii walau ji`naa bi mitslihii madadaa.
"Katakanlah (Muhammad), Seandainya lautan itu menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pastilah akan habis lautan itu sebelum ia selesai (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)."
Adapun pesan yang dapat kita pahami dari penjelasan ayat tersebut adalah jika air laut itu adalah laksana tinta yang akan kita gunakan untuk mencatat seluruh kalimat atau ilmu dari Tuhan, niscaya ia takkan pernah mampu untuk mencatat seluruhnya meski tinta yang seluas lautan itu telah mengering airnya sebab telah digunakan untuk menulis semuanya. Bahkan tidak hanya itu, kita tetap takkan pernah mampu untuk mencatat seluruh kalam atau ilmu-Nya sekalipun kita telah berupaya untuk mendatangkan sejumlah lautan tinta lainnya.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, mereka seakan telah memahami bahwa kemampuan mereka untuk dapat menampung ilmu-ilmu Tuhan itu sangatlah jauh dari kata memadai. Oleh sebab itu, mereka pun terus berupaya semampu mereka untuk tetap dapat menampungnya.
Mulai dari usaha mereka yang paling sederhana yakni melalui coretan-coretan tinta pada lembaran kertas hingga catatan mereka dalam bentuk file-file hasil kreativitas perkembangan teknologi modern yang nantinya dapat mereka unggah dan mereka simpan pada gumpalan awan (clouds).
Meskipun demikian, saya tetap yakin bahwa seberapapun canggihnya kemajuan peradaban manusia dan seluas apapun kolong semesta yang dapat mereka gunakan untuk mewadahi ilmu itu, ia pun tetap takkan pernah mampu untuk menampung sebagian besar dari kalam Tuhan itu.
Karena adanya keterbatasan itulah maka yang senantiasa muncul dalam angan-angan kesadaran kita adalah sebuah ungkapan:
Rabbanaa maa khalaqta haadzaa baathilaa subhaanaka faqinaa 'adzaaba an-naar.
"Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan keadaan batil, sia-sia. Maha Suci Engkau, maka jagalah kami dari siksa api neraka."
Kita sadar sesadar-sadarnya bahwa betapa bodoh dan tidak berdayanya kita di hadapan keluasan ilmu Tuhan. Oleh sebab itu, satu-satu hal yang dapat kita upayakan adalah memohon pertolongan dan perlindungan kepada-Nya agar kita dijauhkan dari kezaliman-kezaliman yang diakibatkan oleh ketidaktahuan kita sendiri dalam memahami setiap detail ilmu-Nya.
Sehingga setidak-tidaknya karena belas kasih dan rahmat-Nya maka Tuhan pun akan mencurahkan bermacam bentuk pengetahuan sekaligus kesadaran pada diri kita agar kita dapat berlaku benar dalam bersikap maupun bertindak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh-Nya.
*
Sewaktu saya masih kecil saya pernah mendapat kabar dari seorang teman sebaya yang entah dari mana ia mengakses sumber informasi itu. Yakni mengenai penjelasan tentang maha luasnya ilmu yang dimiliki oleh Tuhan.
Dia menyebutkan bahwa perbandingan ilmu yang dititipkan pada manusia dengan sumber ilmu yang berasal dari Tuhan itu adalah ibarat setetes air di lautan yang dibagi dengan sejumlah makhluk yang ada di seluruh semesta. Itulah jatah pengetahuan yang dimiliki oleh tiap-tiap makhluk jika dibandingkan dengan keluasan ilmu-Nya.
Kesimpulannya adalah betapa kerdilnya nilai setetes air yang telah dibagi-bagi itu jika dibandingkan dengan samudera ilmu yang merupakan sumber asli dari segala pengetahuan.
Bisa saja penjelasan yang digunakan tersebut adalah untuk mempermudah gambaran kita tentang keadaan pengetahuan Tuhan atas manusia.
Namun, saya tetap meyakini bahwa pengetahuan Allah atas seluruh makhluk-Nya masih jauh melampaui gambaran perbandingan ini. Sehingga saya pun menyadari bahwa begitu bodohnya kita di hadapan Sang Khaliq Yang Maha Mengetahui dan Maha Mampu untuk memberi pengetahuan kepada seluruh makhluk-Nya itu.
Jika kita menengok pada cermin sejarah tentang penciptaan manusia yang pertama, yakni Nabi Adam AS, kita pun akan mafhum bahwa Allah SWT juga telah menitipkan benih-benih pengetahuan kepadanya.
Allah telah mengajari Nabi Adam tentang nama-nama dari seluruh benda maupun makhluk yang ada di semesta sebelum Dia pada akhirnya menunjukkan pengetahuannya itu ke hadapan para malaikat.
Begitu takjubnya para malaikat atas keluasan ilmu dari sesosok makhluk Allah yang bernama manusia yang ternyata jauh melampaui pengetahuan mereka.
Akan tetapi, di balik pengetahuan yang begitu luas yang dititipkan pada mereka tersebut ternyata menyimpan sebuah tanggung jawab yang begitu berat, yakni harus menanggung amanah sebagai khalifatu Allah fi al-ardh atau wakil Allah di muka bumi yang kelak akan bertugas untuk menjaga dan melestarikan seluruh isinya.
Bagi mereka yang mampu memahami peran dan tanggung jawab yang teramat besar ini tentu bukanlah hal yang menjadi kerisauan bagi para malaikat sebagaimana yang dulu pernah mereka sampaikan kepada Tuhan.
Akan tetapi, berdasar rangkaian fakta yang dapat kita telusuri sejak dari awal penciptaan mereka hingga masa sekarang, ternyata begitu banyak diantara mereka yang tidak paham akan peran dan tanggung jawab ini.
Sehingga mereka pun tidak hadir di muka bumi sebagai pemakmurnya atau menjadi rahmatan li al-'aalamiin. Akan tetapi justru sebaliknya, mereka berambisi untuk mengeruk seluruh potensi yang ada di dalamnya tanpa menimbang sisi baik dan buruk yang kelak akan diterima oleh dirinya maupun anak cucunya.
Bahkan lebih dari itu, hal yang paling dikhawatirkan oleh para malaikat pun berulangkali terjadi sepanjang sejarah peradaban mereka. Mereka tidak hanya tega untuk berbuat kerusakan di muka bumi ini. Bahkan lebih dari itu, mereka pun tega mengalirkan darah saudaranya sendiri berkali-kali demi merebut apa yang menjadi hasrat mereka.
Ini adalah buah dari ketidaksadaran manusia terhadap ilmu maupun perannya sebagai wakil Allah di muka bumi sehingga mereka pun berbuat sejauh yang sedemikian.
Barangkali benar belaka ekspresi yang diungkapkan oleh para malaikat ketika mereka ditunjukkan oleh Allah tentang kehebatan Nabi Adam yang mampu menyebutkan nama seluruh ciptaan-Nya yang bertebaran di seluruh penjuru alam. Pada waktu itu mereka serentak mengucapkan:
Subhaanaka laa 'ilma lanaa illaa maa 'allamtanaa innaka anta al-'Aliim al-Hakiim.
"Ya Allah, tidak ada sedikit pun pengetahuan yang melekat pada diri kami kecuali apa yang telah Engkau ajarkan pada kami. Sesungguhnya Engkaulah Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Pada waktu itu selain mereka bertasbih karena takjub atas keistimewaan yang dimiliki oleh Nabi Adam mereka pun paham betul akan keterbatasan pengetahuan yang mereka miliki sehingga ekspresi demikianlah yang muncul dari kesadaran mereka.
Apa yang dilakukan oleh para malaikat tersebut sekiranya juga menjadi pelajaran berharga bagi kita bahwa pengetahuan kita sebenarnya juga sangatlah terbatas seperti halnya keadaan para malaikat tadi. Sebab pengetahuan yang kita sandang sejatinya hanyalah sebatas pada apa yang telah Allah ajarkan atau Allah titipkan pada diri kita.
Jika Allah tidak berkehendak menitipkan ilmu-Nya kepada kita maka sudah pasti kita pun akan menjadi makhluk yang bodoh yang tingkat pengetahuannya jauh di bawah tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh para malaikat-Nya itu.
Oleh sebab itu, dengan adanya segala keterbatasan yang kita miliki inilah maka sudah sepatutnya jika kita senantiasa menyadari bahwa segala pengetahuan yang kita sandang saat ini merupakan bagian dari titipan yang harus kita berdayakan sesuai dengan apa yang telah Allah SWT amanahkan sebelumnya kepada kita, yakni sebagai wasilah untuk menjaga dan merawat kelestarian yang ada di muka bumi ini. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H