Orang tua kita atau mungkin kakek nenek kita, terutama yang berasal dari daerah Jawa, pada umumnya sangat berhati-hati saat berkata dengan anak cucunya.Â
Semurka apapun mereka, mereka akan berusaha menghindari kalimat-kalimat kasar yang rentan berdampak buruk terhadap psikologis buah hati mereka.Â
Mereka lebih senang menggunakan kalimat kiasan seperti, "kurang sak sendok" [Jawa: kurang satu sendok]. Alih-alih kata goblok, tolol, dungu, bego, idiot, kenthog, kenthir dan sebangsanya, untuk dialamatkan kepada sosok yang mereka kasihi.Â
Kalimat (kurang satu sendok) ini tentu lebih bermakna filosofis sekaligus mengandung nasihat berharga bagi orang tua yang sedang diuji oleh Tuhan dengan kehadiran seorang anak yang kondisinya "spesial".
Ia dianggap spesial sebab kondisi perhatiannya, kedewasaannya, kemampuannya, keadaan fisik maupun mentalnya berbeda dengan keadaan anak-anak pada umumnya.Â
Apakah kiranya nasihat yang terkandung dari kalimat "kurang sak sendok" itu?
Baiklah, mari kita ulas bersama.Â
Tapi, sebelum kita membabar hal itu, patut kiranya kita tahu. Banyak orang yang salah paham dengan maksud kalimat kurang satu sendok itu.Â
Mereka menyangka bahwa yang dimaksud kurang satu sendok itu adalah jumlah sperma dari si orang tuanya, entah itu dari pihak bapak atau ibu yang dianggap kurang banyak sehingga dampaknya adalah menjadikan kondisi si anak itu menjadi tidak lengkap, baik secara fisik maupun mental. Dan lebih celakanya lagi adalah, diantara mereka yang pernah mengalami salah persepsi itu adalah saya sendiri.
Kesalahan ini menjadi bertambah nyata manakala kita menyadari bahwa di antara sekian ratus juta sel sperma yang keluar secara bersamaan dan kemudian berenang di dalam kantung rahim itu, ternyata hanya satu saja yang akan sampai dan diterima oleh sel telur untuk mengalami pembuahan.Â
Syahdan, jika kuantitas sperma itu jumlahnya kurang, maka akibatnya adalah gagal mengalami pembuahan. Dalam artian, tidak akan terjadi kehamilan.Â