Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

"Disguised Unemployment", Pengangguran Tak Kentara yang Harus Diwaspadai Pemilik Usaha

26 Januari 2021   06:13 Diperbarui: 26 Januari 2021   18:58 1275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengangguran tak kentara yang sedang rebahan (freepik via solopos) 

Kok bisa sih orang nganggur nggak kelihatan? Apakah itu sebutan bagi mereka yang hobi malas bekerja saat ditinggal atasan? 

Bisa jadi itulah yang terbayang dalam pikiran kita saat memahami secara sekilas bahasan tentang pengangguran tak kentara ini. 

Sebenarnya anggapan itu tak keliru jika pendekatan yang digunakan adalah fenomena pengangguran yang terjadi pada seorang pegawai saat mereka tak diawasi oleh atasan. 

Dan tentu saja jenis karyawan yang semacam inilah yang akan rentan menimbulkan kerugian pada perusahaan sebab tingkah laku mereka yang angin-anginan saat bekerja. Hal ini dikarenakan mereka tetap menerima gaji secara utuh dari perusahaan sementara kontribusi yang mereka beri tak signifikan. 

Namun, sebenarnya itu hanyalah gambaran sederhana dari istilah pengangguran tak kentara (disguised unemployment) yang akan kita bahas bersama di sini.

Jadi penasaran apa maksud sebenarnya disguised unemployment ini? Baiklah, mari kita kupas bersama. 

Bagi siapa saja yang pernah belajar tentang ilmu ekonomi, baik itu sewaktu di bangku SMA maupun ketika berada di jenjang perguruan tinggi, tentu mereka sudah akrab dengan istilah disguised unemployment ini. 

Ya. Istilah ini biasa digunakan untuk menggambarkan hubungan antara beban gaji karyawan dan kontribusi yang dapat mereka beri berdasarkan penghasilan yang mampu diperoleh perusahaan pada periode waktu tertentu. Dalam istilah ini ditegaskan bahwa:

Banyaknya jumlah (beban gaji) pegawai yang ditanggung oleh perusahaan manakala tak diimbangi dengan total pendapatan yang mampu mereka raup, maka hal inilah akan memicu terjadinya ketimpangan. 

Kondisi yang tak berimbang semacam inilah yang sepatutnya mendapat perhatian serius oleh setiap pelaku usaha agar mereka dapat terhindar dari potensi inefisiensi atau pemborosan yang akan mengganggu perkembangan usaha yang sedang berjalan.

Mungkin saja para pegawai yang dimiliki itu sejatinya telah memiliki bekal kompetensi yang mumpuni sekaligus memiliki integritas yang tinggi dalam bekerja, akan tetapi hal ini bukanlah sebuah jaminan perkembangan usaha akan selalu dapat terus menanjak terutama jika tak dibarengi dengan serapan produk ke tangan konsumen.

Selanjutnya, jika hal ini tak mendapat kepedulian dari manajemen perusahaan secara sungguh-sungguh maka dampaknya adalah akan timbul permasalahan pada kinerja perusahaan akibat kondisi yang tak seimbang antara biaya tenaga kerja yang harus dibayarkan dengan capaian usaha tadi.  

Adapun dampak dari kondisi ketidakseimbangan ini secara langsung bagi perusahaan adalah biaya operasional pada perusahaan akan menjadi relatif tinggi di tengah menurunnya pendapatan mereka. Dan manakala celah ini terus saja terjadi, maka sudah pasti akan mengurangi nilai laba perusahaan. 

Kondisi demikian ini sebenarnya masih tidaklah seberapa, sebab jika pada akhirnya nilai laba yang dapat mereka bukukan lebih kecil dibanding dengan biaya operasional yang harus dikeluarkan, maka sudah pasti yang terjadi selanjutnya adalah akan menggerogoti modal perusahaan. Dalam artian, perusahaan harus menggunakan modal yang ada untuk menutup kebutuhan biaya operasional.

Apakah masalah ini ada solusinya? 

Tentu saja ada. Pada intinya, solusi yang dapat dibentuk oleh pihak perusahaan adalah dengan cara menyeimbangkan antara beban gaji pegawai dengan capaian produktivitas usaha. Di antara opsi untuk memecahkan masalah tersebut antara lain adalah:

Pertama, merekrut pegawai sesuai dengan target kerja

Pilihan pertama ini bisa dipraktikkan untuk perusahaan yang tarafnya masih akan dirintis atau para pengusaha yang ingin bergerak ke ranah start up.

Bagi perusahaan yang masih taraf rintisan ini tentu pihak pencanangnya sebelumnya harus dapat memetakan secara jeli berapa rencana produksi maupun penjualan yang mereka targetkan sebagai pertimbangan atas banyaknya tenaga kerja yang akan direkrut. 

Dan manakala mereka masih buta dengan keadaan pasar akibat tak ada kesempatan untuk melakukan survei, maka mereka bisa menerapkan prinsip kehati-hatian secara ketat saat merekrut pegawai. 

Bahkan pada skala yang terekstrem--sama sekali tidak tahu keadaan pasar--mereka juga dapat meniadakan pegawai itu sama sekali. 

Dengan demikian, seluruh kegiatan usaha akan dilakukan sendiri atau bersama keluarga sepenuhnya. Hal ini mungkin terdengar konservatif, tradisional dan bahkan radikal. Namun demi menyeimbangkan antara penghasilan dan biaya usaha, kiranya cara ini patut untuk dipertimbangkan. 

Kedua, Mengurangi jam kerja pegawai

Upaya ini dapat dilakukan dengan cara membentuk shift atau pergantian jadwal kerja pada pegawai, yang mana pada jadwal sebelumnya masih diberlakukan sistem kerja secara penuh waktu. 

Cara ini biasa digunakan oleh perusahaan yang memiliki banyak pegawai yang sedang mengalami resesi maupun krisis, sementara upaya untuk memberhentikan karyawan secara sekaligus akan rentan menyebabkan konflik sosial. 

Harapan yang akan diperoleh dengan memberlakukan shift kerja ini adalah akan dapat menyeimbangkan antara beban gaji, beban kerja pegawai serta produktivitas perusahaan. 

Ketiga, Merumahkan pegawai 

Kondisi ini biasa diterapkan untuk industri padat karya yang sifatnya musiman. Misalnya saja pada industri rumahan yang bergerak di sentra jajanan lebaran. 

Saat menjelang lebaran, perusahaan akan merekrut sejumlah pegawai untuk membantu memproduksi jajanan. Sementara di luar musim itu para pegawai tak memiliki ikatan kerja apapun dengan perusahaan. Karena di waktu itu memang permintaan konsumen terhadap jajanan sudah jauh mengalami penurunan. 

Jika ikatan ini disadari sepenuhnya oleh pemilik usaha dan pegawai, saya kira hal ini takkan berpotensi menimbulkan konflik sosial. Sebab masing-masing sama-sama tahu bahwa kondisi permintaan barang saat itu sedang mengalami penurunan secara drastis yang imbasnya adalah pada pemilik perusahaan maupun tenaga kerja yang dimiliki. 

Atau bisa juga cara ini digunakan sebagai langkah untuk menyiasati kondisi lesunya usaha yang belum diketahui kapan masa berakhirnya. Misalnya saja, ya, seperti musim pandemi sekarang ini. Banyak di antara karyawan yang terpaksa harus dirumahkan akibat perusahaan sedang sepi pesanan. 

Lagi pula, tetap melangsungkan produksi dalam skala normal atau bersikukuh menargetkan penjualan standar di tengah lesunya permintaan ini sama halnya strategi penuh kenaifan yang akan mengantar perusahaan pada lembah kepailitan dan bahkan pada jurang kebangkrutan. 

Saya kira demikianlah kaitan antara pengangguran tak kentara, dampaknya terhadap perusahaan dan alternatif solusi yang dapat dibentuk untuk mengantisipasinya. Barangkali dengan lebih memperhatikannya perusahaan akan dapat menghindari pengalokasian anggaran untuk hal yang sia-sia. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun