Mungkin itulah sebuah pepatah yang sangat sering kita dengar berkait dengan bunga yang satu ini.Â
Saat saya mengamati secara sekilas mengenai peribahasa ini, awalnya saya menganggap kata keladi tua di sini hanyalah sebatas kiasan tanpa makna.Â
Namun, setelah saya memiliki sendiri bunga ini dan sedikit mengamati sosoknya, saya lekas paham ternyata ada kaitan antara sifat bunga ini dengan muatan peribahasa tadi.
Baiklah, saya cerita sedikit saja. Awalnya saya mulai menggandrungi bunga yang bernama latin Caladium ini kira-kira sejak empat tahun yang lalu, atau jauh-jauh hari sebelum pandemi singgah dan menjadi selimut duka bagi seantero negeri.Â
Meski pada waktu itu banyak orang menganggapnya sebagai bunga kuno, tidak nge-trend dan bahkan membiarkannya tumbuh liar begitu saja di pematang sawah, saya tidak menganggapnya demikian.Â
Bagi saya, bunga ini tetaplah puspa yang mampu memesona hati saya sebagaimana saya menyenangi kembang-kembang yang lain, terutama yang beraroma wangi seperti kenanga, melati, mawar, kaca piring, dan lain sebagainya.Â
Baiklah. Kiranya sudah cukup cerita ringkas dari saya tentang perkenalan pertama dengan bunga keladi ini. Sekarang marilah kita kembali ke bahasan pepatah yang mengambil kearifan dari sang bunga keladi.Â
Jika kita mengamati pertumbuhan keladi, pada umumnya kita akan mendapati bunga ini sebagai jenis tanaman yang terus tumbuh dan berkembang hingga menghasilkan anakan daun-daun baru.Â
Jika kondisi tanah tempat huniannya cukup subur, maka ia bisa saja terus tumbuh dengan daun dan akar yang semakin rimbun sehingga ia pun dapat dipisah sebagai anakan dan disemai pada media lainnya.Â
Namun, jika kondisi tanah sedang kurang zat hara, biasanya keladi ini hanya akan tumbuh dengan berganti daun saja diiringi dengan tampilan warna daun yang kurang mencolok tajam.