Krak, krak, krak.
Secara perlahan, cangkang itupun retak satu persatu. Tampak dari pengamatannya paruh-paruh mungil yang hendak menerobos kulit telur itu. Melihat kejadian ajaib ini, hati si Babon sumringah bukan kepalang. Sebab untuk ketiga kalinya ia akan menjadi induk ayam.
Begitu semua anaknya itu telah lepas dari cangkang, si Babon segera mengajak mereka menuju ke tegal, tempat dimana ia bersama kawan-kawannya yang lain biasa mengais kehidupan, selain mengandalkan jatah tetap dari sang pemilik.
Tak lupa, ia kenalkan satu persatu anaknya itu kepada seluruh penghuni kandang yang tengah nyeker (mengais tanah) dan rebahan di sana.
Hari-hari terakhir sejak menetasnya si piyik (anak ayam) itu, entah kenapa, perasaan si Babon selalu saja menjadi lebih gampang marah. Emosinya selalu saja meledak-ledak begitu mendapati perihal yang ia anggap akan mengancam keselamatan anak-anaknya.
Tidak segan-segan ia akan bersabung nyawa dengan betina yang lain hingga para ayam jago sekalipun, jika sudah menyangkut keamanan anaknya.
Hingga pada akhirnya, seekor babon paruh baya, yakni induknya sendiri--nenek dari ayam-ayam kecil--itu menasehati, bahwa sebaiknya ia lekas mendamaikan sikapnya itu, mengingat anak-anaknya sudah semakin remaja dan sudah hampir tiba bagi mereka untuk hidup secara mandiri.
Setelah genap 65 hari ia mendampingi, merawat dan mengajari para anaknya itu seni untuk menggeluti kehidupan, tibalah saat baginya untuk memandirikan mereka.
Dengan sekuat hati si Babon melepas mereka dengan hembusan harapan agar mereka kelak akan tumbuh menjadi ayam berdikari yang bermanfaat bagi bumi pertiwi. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H