Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Nikmat Terbesar bagi Seorang Penulis

28 Desember 2020   08:00 Diperbarui: 29 Desember 2020   13:51 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buku sebagai anugerah terindah bagi seorang penulis (Christine Keller-Unsplash)

"Nikmat terbesar bagi seorang penulis adalah masih terus bisa menulis."

Kalimat pembuka ini saya anggit dari salah seorang penulis favorit saya, yakni Mas Mahfud Ikhwan, melalui sebuah kolom tulisannya yang berjudul Duaribu Duapuluh. Jika timbul rasa penasaran pada diri Anda untuk mengecek asal tulisan yang beliau susun sambil rebahan di pojok ruangan itu, silakan mampir ke paragraf ketiga.

Ketika membaca tulisan Mas Mahfud ini, begitu saya sampai pada kalimat itu, saya segera meninggalkan tulisannya seketika, meski saya belum rampung membaca seluruh tulisannya. Hal ini saya lakukan bukan karena alasan saya tidak menyenangi narasinya. Justru sebaliknya, saya melakukan hal ini agar tak kehilangan momentum dan ruh dari kalimat yang saya anggap begitu bertenaga tersebut.

Sehingga, sebelum rampung membaca seluruh tulisan tersebut, saya segera menyusun tulisan ini. Lumayanlah, dari pancingan satu kalimat saja, ternyata bisa jadi pelecut inspirasi saya untuk menulis di sini.

Sejujurnya, sebagai seorang penulis kelas kecik, saya pun sebenarnya sependapat dengan pemikiran Mas Mahfud tadi, khususnya mengenai kenikmatan terbesar bagi seorang penulis.

Meskipun jika ditilik dari sisi yang lain, sebagai manusia biasa, saya berulang kali juga berhasrat bisa menjadi seorang penulis berkelas, memperoleh pendapatan yang fantastis dari aktivitas menulis itu. Jika belum mampu ke tahap demikian, sekurang-kurangnya saya bisa memiliki pendapatan yang cukup dari aktivitas menulis ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Syukur-syukur jika hasilnya bisa berlebih sehingga dapat diwariskan hingga ke anak cucu.

Terlepas dari semua angan-angan itu, kalimat tersebut sejatinya begitu menggugah kembali kesadaran saya, bahwa kenikmatan terbesar bagi seorang penulis itu adalah, ya, masih bisa menulis itu sendiri. Perkara nanti apakah ia bisa menjadi penulis kondang melalui karyanya yang mendulang bermacam apresiasi, anggap saja itu adalah semacam bonus dari jerih payah yang sudah dikerjakan.

Dengan demikian, manakala kita--yang tengah menapaki jalan kepenulisan itu--tidak memperoleh "bonus" dari apa yang telah kita lakukan, maka hati kita pun takkan sampai dirundung rasa kekecewaan.

Mengapa demikian?

Sebab kita senantiasa merasa bahwa "gaji" pokok kita sebagai seorang penulis masih selalu dapat kita terima. Adapun gaji pokok tersebut adalah kita masih diberi kesempatan untuk berkarya di dunia literasi. Bahkan lebih dari itu, kita juga masih dapat membagi karya kita itu untuk sesama.

Baiklah. Saya kira demikian dulu apa yang dapat saya bagi untuk tulisan kali ini. Sebab, saya masih ingin merampungkan bacaan kolom tulisan Mas Mahfud lagi. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun