"Sinoman.. Sinoman.."
Begitulah kata-kata yang aslinya berasal dari kata si enoman (si pemuda) itu biasa terdengar dari seorang bapak-bapak pada acara hajatan di daerah saya.
Di daerah saya, yakni Kabupaten Blitar Propinsi Jawa Timur, kata-kata itu merupakan isyarat bahwa para pemuda yang bersedia untuk mendermakan tenaganya menjadi juru ladi (pelayan) telah siap untuk bergerak.
Aba-aba ini biasanya diserukan pada saat usai acara. Misalnya, sehabis tahlilan atau setelah acara inti pernikahan, dan acara sudah masuk pada sesi yang paling ditunggu-tunggu oleh para tamu undangan, yakni ramah tamah.
Pada sesi acara santap hidangan ini, para sinoman selalu siap membantu untuk menyuguhkan makanan maupun hidangan penutup ke hadapan mereka.
Selain itu, keberadaan sinoman biasanya juga dijumpai pada saat acara penghormatan terhadap jenazah. Usai jenazah dishalati oleh para pentakziyah dan hendak diberangkatkan menuju pemakaman, biasanya para sinomanlah yang akan menjunjung keranda yang telah berisi jenazah itu.
Mereka akan menjunjung keranda itu secara bergantian dengan keluarga yang sedang berduka dan para pentakziyah lainnya.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, keberadaan para sinoman ini menjadi tidak pasti ada di setiap acara. Misalnya, di acara pernikahan yang telah diatur seluruhnya oleh event organizer.
Memang, acara pernikahan yang telah diatur sepenuhnya oleh event organizer maupun wedding organizer ini terkesan lebih ringkas dan tidak merepotkan si empunya hajat. Akan tetapi, biasanya hal ini memiliki konsekuensi, yakni biaya hajatan menjadi lebih mahal. Kecuali, jika acara wedding party itu dikemas secara sederhana seperti yang banyak terjadi pada musim pandemi saat ini.
Di luar fakta itu, keberadaan para sinoman sejatinya merupakan khazanah budaya lokal yang patut dilestarikan, mengingat mereka merupakan cermin peradaban masyarakat kita yang bergotong royong, yang gemar nyengkuyung (membantu secara bersama-sama) pihak lain yang memiliki kerepotan.
Semoga saja keberadaan para sinoman yang merupakan bagian dari bentuk kearifan lokal ini tidak tergerus oleh zaman maupun oleh kehadiran budaya-budaya baru yang kian deras memasuki negeri ini. (*)