Saat saya menonton film kartun, saya biasa mengamati sosok-sosok yang berperan sebagai pemain protagonis, antagonis, tritagonis, dan deutragonis.Â
Diantara pemeran itu, sejauh pengamatan saya, ada yang selamanya menjadi musuh bagi si pemain utamanya, sedangkan lainnya terkadang berubah menjadi kawan atau bahkan menjadi pemeran utama menggantikan peran sebelumnya yang diisi sang pemain protagonis.Â
Adalah Megamind, satu diantara film kartun yang tokoh antagonisnya berubah menjadi pemeran utama (protagonis). Dimana penyebab ia berubah menjadi tokoh utama itu adalah lantaran Metro Man, sang superhero kota telah memutuskan untuk pensiun secara sepihak dari tugasnya. Keputusan itu ia ambil lantaran ia ingin hidup menyendiri, jauh dari hingar-bingar kekacauan kota, pada masa tuanya.Â
Selain dari kisah Megamind tadi, diantara pembaca mungkin juga sudah sangat mengenal dengan sosok Gru dalam film Despicable Me. Ya. Dalam film itu, bos dari para minions itu awalnya berniat untuk menjadi penjahat terbesar di seluruh semesta, yang sebenarnya telah mampu ia buktikan dengan mencuri bulan.Â
Namun, keinginannya itu harus kandas di tengah jalan sebab nuraninya tak kuasa saat menghadapi 3 anak yatim yang diasuhnya.Â
Bahkan, tidak cukup berhenti sampai di sini, bisikan nuraninya inilah yang pada akhirnya justru mengantarnya berurusan dengan penjahat kelas dunia, Vector.Â
Secara tak disadari, keberadaan 3 gadis yatim manja itu seakan telah memberikan kekuatan tersendiri bagi Gru sehingga ia pun rela menghadapi apa saja demi melindungi keselamatan bocah-bocah polos itu.Â
Selanjutnya, pembaca boleh-boleh saja menyimpulkan bahwa Gru bisa menjadi sosok seperti ini adalah sebab berkah atasnya lantaran ia telah merawat anak-anak yatim itu dengan setulus hati sehingga hal ini pun menggiringnya pada tatanan perilaku kehidupan yang benar.Â
Namun, sebelum kita masuk pada kesimpulan itu, alangkah baiknya jika kita menyadari bahwa berkah dan rahmat dari Tuhan itu sebenarnya telah tercurah padanya sejak dalam keinginan atau niatnya untuk merawat si anak-anak yatim, yakni dalam bentuk rasa humanismenya sebagai seorang kartun, eh, maaf, manusia.
Rasa manusiawi yang ia ikuti dan ia kembangkan itulah yang kemudian menjadi pengantar baginya untuk menapaki kebenaran-kebenaran berikutnya sehingga ia pun secara perlahan semakin menjauh dari lembah kejahatan.Â