Kemarin sore, saat perjalanan pulang kerja, mendadak ban sepeda motor saya gembos. Saya langsung membatin, "Waduh ini, bocor bannya," dalam bahasa Jawa tentunya.Â
Untuk memastikannya, saya pun mengecek kondisi ban itu. Dan benarlah anggitan saya, ia bocor. Saya pun bertanya pada salah seorang yang berada di sekitar saya untuk mencari tahu kira-kira dimana saya bisa menemukan seorang tukang tambal ban terdekat.Â
Seseorang yang saya tanyai itu menunjukkan arah tempat tambal ban. Untunglah, lokasinya hanya berjarak setengah kilometeran saja dari tempat saya berdiri.Â
Saya menyusuri jalanan sambil menuntun sepeda untuk menuju lokasi yang ditunjuk oleh orang itu tadi.
Sesampainya saya di lokasi tukang tambal ban, ternyata saya mendapati tempat itu sudah tutup. Saya mencoba bertanya pada seorang ibu penjaga warung yang lokasinya persis di samping kios tambal ban itu. Ibu itu menjawab singkat pertanyaan saya, "ada."
Sejurus kemudian, ibu itu menghampiri pintu samping rumah yang sepertinya adalah milik si penambal ban. Tak berselang lama, sang penambal ban pun membuka bedak kiosnya.
Saya terkejut saat mendapati sesosok pria paruh baya dengan pakaian yang agak lusuh membuka pintu kiosnya dengan keadaan ngesot (bersimpuh).Â
"Gimana? Jadi apa nggak?" tiba-tiba pria itu bertanya pada entah siapa yang berada di dekatnya, dengan tatapan mata yang kosong.Â
"Jadi, Pak." saya pun menjawab saja pertanyaan dari bapak itu sebab saya memang sedang berniat untuk menambal ban.Â
Bapak itu menutup kembali bedak kiosnya yang berukuran 2.5 meteran itu dengan setengah rapat. Saya mendengar suara kemelotak dari dalam kios mungilnya. Sepertinya bapak itu tengah menyiapkan beberapa perkakasnya sebelum memulai perbaikan.Â