Pada sebuah acara yang ditayangkan oleh salah satu televisi swasta, kita mungkin pernah menyaksikan acara Cek Ombak yang meliput keseharian Bu Puji yang seakan tak pernah lepas dari dunia ombak dan lautan.Â
Pada satu segmennya digambarkan Bu Puji sedang mengecek ombak di bibir pantai untuk menilai apakah kondisinya saat itu sedang baik atau tidak untuk aktivitas surving maupun berlayar.Â
Dalam dunia para nelayan--jika saya salah mohon dikoreksi oleh Pak Fauji Yamin, cek ombak biasa dilakukan untuk menentukan apakah cuaca dan ombak pada satu waktu sedang bersahabat untuk aktivitas berlayar atau tidak. Hal ini penting untuk dilakukan agar ketika berlayar nanti para nelayan tidak mengalami masalah, misalnya, berhadapan dengan deburan ombak besar yang mengancam keselamatan jiwa mereka.Â
Selanjutnya, mengenai frasa 'cek ombak' ini sebenarnya bisa dibawa pada konteks yang lebih luas, seperti dalam dunia bisnis hingga perihal perpolitikan.Â
Cek ombak dalam dunia bisnis dapat dipahami sebagai aktivitas yang dilakukan oleh seorang pebisnis untuk mengukur iklim usaha pada waktu tertentu, apakah kondisinya sedang baik atau tidak untuk menjalankan bisnis.Â
Misalnya saja, di tengah situasi pandemi saat ini. Pengusaha akan berusaha menerjemahkan kondisi 'ombak' bisnis yang sedang terjadi, apakah sebaiknya direspons dengan mengembangkan usaha di sektor riil, mengalihkan aset ke sektor yang aman (safe haven), atau melakukan jalan tengah diantara keduanya, yakni mengembangkan bisnis sambil mengamankan aset.Â
Tentu sebelum memutuskan ihwal itu harus dilakukan pembacaan yang detail dan teliti mengenai kondisi mikro-makro ekonomi yang sedang terjadi agar pengusaha tidak salah dalam membuat perhitungan yang berakibat salah langkah.Â
Di luar konteks itu, frasa cek ombak pun dapat dibawa pada konteks dunia perpolitikan. Dalam perpolitikan, cek ombak dapat diinterpretasikan sebagai kemampuan untuk menganalisa kondisi riuh rendahnya tanggapan dari warga maupun elit pemerintahan atas kebijakan yang hendak atau telah digulirkan.Â
Jika kita mengaca pada kondisi kita saat ini, kita dapat mencontohkannya dengan wacana pembentukan undang-undang (saya menuliskan huruf 'u' awal sama kecilnya dengan huruf yang lain agar melahirkan keberimbangan) ketenagakerjaan yang dianggap masih berat sebelah.Â
Apapun bentuknya, dan sampai kapan pun waktunya, jika undang-undang itu dianggap tak menghasilkan keuntungan yang berimbang antara pihak pengusaha maupun para pekerja, pasti akan terjadi tarik ulur untuk membentuk sebuah kata mufakat.Â