Di suatu ketika, di bawah langit september yang sedang terlelap. Aku berjalan sambil duduk diatas kursi ketidaktahuan. Ya, aku tak kemana-mana. hanya duduk bersandar tapi fikiranku yang berjalan. Ia berjalan mengisi kekosongan tapi bukan kekosongan yang utuh, kenyataannya masih ada kopi pekat didepanku yang memberi harapan dan peringatan tentang pahit manis kehidupan, tetang kehidupan yang akan terasa pahit jika kita tak tahu cara menikmatinya.
Sepersekian detik jalan fikiranku terhempaskan keadaan, angin yang terjadi dibulan itu membuyarkan jalan fikiranku. Aku membereskan kertas-kertas kosong disampingku yang berserakan. Kertas-kertas ini memang belum sempat aku tulis apapun selain kekosongan. Seolah aku bercerita diatas ketiadaan. Lalu angin itu membuyarkannya. tapi tanpa disengaja telah menjelaskan semuanya, bahwa angin adalah sebuah ketiadaan yang bisa membuat apapun menjadi ada. angin seperti bukti nyata bahwa sesuatu yang tak terlihat tatapi bisa jelas dirasakan, bahkan ia terlihat bergerak ketika melalui kertas-kertas tadi. Seketika ada sedikit keyakinan dalam diri ini bahwa ketiadaan adalah murni. Tak terbayangkan mati dan terlalui abadi.
sore yang pekat itu aku masih diam, seperti biasanya melihat orang berlalu lalang lewat jendela kamarku yang juga tempat kerjaku dan selalu ditemani kopi hangat yang dalam membuatnya tak ada campur tangan orang lain. Aku masih dalam kekosongan yang hampir sempurna sebelum bayangan tentang sosok hawa hadir dihidupku sedangkan aku tak pernah sanggup jadi adam. Aku hampir tak pernah mencari bahkan berusaha saja meletakan kompas di hatiku, aku tak pernah berusaha mencari mata angin kemana angin berusaha meletakan mata hati. sepertinya kekosongan ini indah, atau aku yang tak pernah sanggup meniadakan kekosongan? Tapi bukannya tak ada sosok hawa dalam hidupku. ada bagian terpenting kenapa aku selalu ada didekat jendela kamarku ketika senja tiba. memang berat mengucapkannya apalagi mencoba memahaminya. Entahlah, mungkin terlalu munafik untuk berbicara tentang sosok perempuan berparas manis dengan tatapan puitis itu, aku sering mengulangi terus namanya dalam diam ku sampai aku benar-benar tak mengerti artinya. Aku seolah hanya bercerita kepada angin-angin diseluruhku, aku hanya bercerita pada hempasan-hempasan itu sendiri.
Pernahkah mendengar cerita angin yang menyatukan? Dalam cerita itu ditekankan bahwa fase pertama pembentukan hujan adalah angin. Sebagaimana yang terjadi, angin “menyatukan” uap air yang melayang di udara dengan partikel-partikel yang di bawanya dari laut dan akhirnya membantu pembentukan awan hujan. Bayangankan saja, Bila angin tidak memiliki sifat ini. Dan hujanpun tak akan pernah terjadi.
mungkin, aku hanyalah pertikel-pertikel kecil itu yang mengaharapkan angin membawaku menjadi awan hujan. Dan menjadi air hujan di kemarau panjangmu. Ah, ternyata kau sudah berlalu. Terasa singkatnya semua ini. Ketika embun pagi masih terasa dingin untuk sekedar menyuci najisku, aku masih bertanya kapan senja datang. Berhari-hari diantara kekosonganku aku selalu mengharapkan saat-saat seperti ini. Dimana partikel kecil ini mencoba merayu angin untuk membawa ketempaat terindah dimana awan dan hujan melebur menjadi satu. dan kau sudah benar-benar jauh berlalu, kau berjalan pelan tapi pasti dan menjauh. Kuliahat diantara rambut ikal mu juga ada angin yang menyentuhmu.
Oh,ternyata kekosongan itu juga bisa menyentuhmu. Tapi Kenapa aku dan diriku ini terasa berat walau sekedar menyapamu? Mungkin Suatu ketika nanti, ya, suatu ketika nanti aku adalah kekosongan yang kau isi. Kau adalah seutuhnya ketiadaanku, lalu aku menjelma menjadi air hujan yang menghujani kemaraumu. Lalu apalagi? Masih saja semua ini terasa omong kosong tapi aku tak mau menghakimi senja yang kusyu’ ini. Semoga saja masih ku jumpai senja-senja yang sama ketika harap dariku terbawa angin menujumu.
‘’Angin Bercerita’’
Seperti angin yang menemani
Kan berhenti saat semua berhenti
Seperti embun yang membashi
Kan berhenti, hilang dan tak berarti
Angin berikan cerita yang nyata
Untuk dapat ku ungkapkan cinta kepadanya..
Angin berikan hembusan yang tenang
Agar dapat ku rasakan indahnya dunia
Seperti cinta yang kau miliki
Kan berhenti saat semua terhenti
Seperti rindu yang menghantui
kan berhenti, hilang dan kan berarti
ada suara radio yang dari tadi aku lupakan seolah volume nya menjadi besar saat aku mencoba mendengarnya. Terdengar lirik-lirik sederhana yang seperti mempuisikan semua ini. Seperti telah menerjemahkan semua apa yang terjadi. Dan rasa yang ku miliki, mungkin berhenti saat hidupku terhenti. Juga rindu yang menghantui, semoga hilang dan kan berarti.
Dan sekarang, bersiaplah melihat karya kami "Kertas Kosong"..
Nantikan Buku Musikalisasi yang saya tulis duet dengan Alfiansyah Dhani..
Coming soon : 01 Januari 2014...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H