Mohon tunggu...
Taryadi Sum
Taryadi Sum Mohon Tunggu... Insinyur - Taryadi Saja

Asal dari Sumedang, sekolah di Bandung, tinggal di Bogor dan kerja di Jakarta. Sampai sekarang masih penggemar Tahu Sumedang

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Saya Menikah Terlalu Tua dan Tanpa Perencanaan

6 Oktober 2014   23:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:09 1504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menikah pada usia 27 tahun. Pada saat itu sama sekali tidak mengenal istilah genre (generasi berencana), tidak pernah merencanakan mau punya anak berapa, acuannya hanya satu, jika repot maka stop dulu. Kalau sudah longgar, boleh punya anak lagi. Biarlah seperti air mengalir begitu saja.

Saat ini usia saya 45 tahun dan   saya memiliki anak 3 orang. Yang paling besar laki-laki  berusia 16 tahun kelas 2 SMA, yang kedua perempuan  berusia 14 tahun  kelas 3 SMP dan yang  bontot laki-laki lagi berusia 6 tahun, masih di taman kana-kanak.  Jarak antara yang kedua dan yang ketiga memang termasuk jauh, yaitu 8 tahun, alasannya juga karena sudah merasa agak longgar dan sudah bisa nambah lagi.

Anak saya  masuk SD secara normal pada usia  7 tahun, jika  SD butuh  6 tahun, SMP butuh  3 tahun, SMA butuh 3 tahun juga dan   perguruan  tinggi 5 tahun, maka ia baru akan  menyelesaikan S1 nya pada usia 24 tahun.  Jika kemandirian anak itu dianggap 1 tahun setelah lulus sarjana, maka ia baru dapat dianggap mandiri pada usia 25 tahun. Artinya, saya baru  bisa benar-benar pensiun dari ngurus anak-anak pada umur 63 tahun, mengingat anak yang paling kecil masih berusia 6 tahun.

Dengan asumsi saya tidak pindah kerja dan perusahaan tidap pailit,  tempat saya bekerja  sudah mematok usia produktif sampai 6o tahun.  Artinya ketika anak lagi butuh besar-besarnya biaya  tiga tahun menjelang selesainya perguruan tinggi, sayaq sudah tidak produktif lagi.  Jika tidak diantisipasi dari sekarang, keberlanjutan pendidikan dia akan terancam.

Lalu seperti apa pula manusia umur 63 tahun?,   Mengingat hal itu, saya baru merasa menyesal  tidak menikah di umur 25 tahun dimana ketika itu saya sudah bekerja dan pendapatan saya  mungkin cukup untuk  sekedar hidup sederhana dengan istri atau dengan seorang anak kecil.  Jika saja saya menikah di usia 25 tahun dan memiliki anak pertama tahun kedua kemudian yang kedua dan ketiga rata-rata berselang 4 tahun, maka pas usia 60 tahun semuanya sudah selesai. Anak terkecil sudah mandiri, dan sayapun tidak perlu disibukkan lagi dengan biaya sekolah anak-anak.

Meski masih jauh, menikmati pensiun ketika usia 60 tahun sepertinya akan lebih menyenangkan daripada di usia 63 tahun. Karena untuk melakukan aktivitas apapun, pada usia 60 akan jauh lebih baik daripada dilakukan pada usia 63.

Well… nasi sudah menjadi bubur. Sayapun masih sangat bersyukur karena ditakdirkan lahir dari  ibu-bapak yang mampu menyekolahkan saya sampai sarjana meskipun tidak dalam kemewahan. Dan sebagai rasa syukur saya, sayapun mentargetkan diri untuk membiayai sekolah anak minimal sampai sarjana, meskipun mungkin saya harus melupakan mimpi jalan-jalan ke luar negeri bersama istri saat pensiun nanti.

Saya tahu bahwa beban puncak biaya pendidikan anak-anak saya akan terjadi dua atau tiga tahun lagi, ketika anak sulung masuk universitas dan anak bungsu masuk SD. Jika bersekolah di negeri, tentu ini akan jauh lebih ringan dibanding dengan di swasta. Tapi saya masih optimis  karena usia  3 tahun lagi adalah 48, mungkin masa fit-fitnya bekerja.

Yah, ketika hidup dibatasi oleh banyak hal misalnya masalah  ekonomi, akan lebih baik kalau semuanya terrencana, Saya mungkin tidak perlu mencemaskan  beban puncak biaya pendidikan anak yang akan terjadi  3 tahun  lagi atau memperkirakan usia pensiun yang sampai 63 tahun jika saya berasal dari keluarga kaya  raya.

Memang, semua  berujung pada takdir, tetapi  memiliki perencanaan tentang kehidupan pasti lebih baik daripada tidak punya rencana  sama sekali.. seperti saya.

Karena itu untuk para generasi muda yang baru akan menuju jenjang perkawinan, jadilah generasi berencana. Generasi berencana tidak hanya berapa mau punya anak, tetapi juga untuk mengukur seberapa mampu kita menyekolahkannya dan mewujudkan hari tua yang menyenangkan..... semoga!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun