Bekerja di perusahaan konsultan perencana, saya seringkali harus pergi ke luar daerah baik dalam rangka survey ataupun presentasi hasil pekerjaan. Dan pilihan untuk perjalanan terpanjangnya selalu moda perjalanan udara karena dari sisi waktu lebih efisien.
Selain rasa takutuntuk pertama kalinya naik pesawat (thn 1993), perasaan takut naik pesawat itu terjadi ketika adanya serentetan kecelakaan dari mulaijatuhnya nyangkutnya Mandala di Medan, jatuhnya Adam Air di perairan Majene hingga gagal landasnya Garuda di Yogyakarta. Namun dengan “Bismillah” dan berserah diri pada Takdir Illahi dan berkeyakinan bahwaperjalanan yang akan saya lakukan adalah ibadah untuk menafkahi keluarga, maka sayapun hadapi ketakutan-ketakutan tersebut.
Dari seluruh rangkaian perjalanan itu, yang benar-benar membuat saya tidak sanggup terbang adalah ketika pulang dari Wasior (Kabupaten Teluk Wondama, Papua), sekitar 1 tahun sebelum kota itu terkena banjir bandang tahun 2009. Karena moda transportasi laut sangat jarang, kami mencoba alternatif untuk naik pesawat. Menurut petugas bandara di situ, yang tersedia adalah pesawat perintis Twin Otter milik Merpati yang kira-kira usianya lebih tua dari usia saya dan satu lagi saya tidak tahu jenisnya milik Maskapai Aviastar. Keduanya adalah pesawat kecil dengan penumpang hanya 12 orang.
Setelah bincang-bincang dengan petugas bandara, ternyata beberapa minggu sebelumnya telah terjadi accident kecil, yaitu pesawat gagal terbangsetelahmeninggalkan landasan pacu. Meskipun tanpa korban, tetap saja sangat mengerikan sehingga saya memutuskan untuk batal naik pesawat dan memilih menunggu kapal perintis yang baru akan tiba 3 hari kemudian yang bisa membawa saya ke Manokwari.
Yang kedua adalah tahun kemarin ketika saya akan menempuh perjalanan Medan – Panyabungan (Kabupaten Mandailing Natal). Alternatifnya adalah jalan darat selama 14 jam melalui Pematang Siantar, atau naik pesawat perintis ke Padang Sidempuan dan dilanjutkan naik pakai mobil 2 jam lagi. Karena saat itu penerbangan yang ada hanya SusiAir (dalam bayangan saya pakai pesawat capung tua dengan pilot bule), saya memutuskan untuk jalan darat saja meskipun harus 14 jam plus sakit pinggang karena jalanan jelek ketika menyusur pinggiran Danau Toba.
Yah, meskipun statitik mengatakan lebih banyak orang mati di tempat tidur dan datangnya ajal adalah urusan SangKhalik, saya selalu berusaha untuk menghindari sebuah kengerian akan bahaya. Meskipun maut akan datang menjemput, tetapi saya tidak pernah ingin menantang maut….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H