Tiga puluh tahun yang lalu, saya adalah penikmat Sungai Cimanuk. Selepas pulang sekolah, saya bersama teman sebaya balapan renang dari satu sisi ke sisi lain di sungai yang lebarnya sekitar 70 meter itu. Karena sejak kecil kami sudah bermain sungai, anak usia 10 tahun akan malu jika belum bisa berenang sejauh itu.  Â
Pada lain kesempatan, saya juga tanding siapa yang paling lama menyelam, siapa yang paling lihai menangkap ikan dengan tangan kosong, atau siapa yang paling berani melompat dari tebing yang paling tinggi. Meski tidak ada wasit atau hadiah, kami selalu melakukannya setiap ada kesempatan.
Itulah keasyikan-keasyikan kami bermain di Sungai Cimanuk, salah satu sungai terbesar yang mengalir membelah Jawa Barat tersebut. Saya merasa itu adalah anugerah yang diberikan Yang Maha Kuasa, di tengah tarap ekonomi kami yang tidak begitu bagus, kami punya mainan yang mungkin anak-anak kota tidak pernah merasakannya, atau berbiaya mahal. Bayangkan saja, anak-anak kota mengeluarkan uang puluhan ribu untuk sekali masuk kolam renang, kami bisa kapan saja tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun.
Kini, beberapa bulan pasca Bendungan Jatigede dijalankan, air sudah tidak mengalir lagi karena terbendung Jatigede sekitar 20 km di di hulu tempat kami. Dasar sungai yang sebenarnya batu, hampir seluruhnya terlapisi lumpur yang menandakan tidak ada arus di situ. Lebar sungai tinggal 20 atau 30 meter saja dengan kedalaman tidak lebih satu meter.
Apa yang bisa dilakukan di sungai keruh lumpur tanpa arus seperti itu? hampir tidak ada kecuali sekedar mandi-mandi kotor yang anak usia pra SD. Tidak ada tantangan lagi yang bisa menjadikan mereka pandai berenang, pandai menangkap ikan atau kuat menyelam.
Ketika saja menyaksikan mereka-mereka mandi seperti yang saya lakukan 30 tahun lalu itu, terlintas pertanyaan getir sebagai empati terhadap mereka, sampai kapan waduk itu akan penuh sehingga air sungai terisi normal lagi? Sedangkan orang tua kami tak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk mengajak kami ke tempat berenang yang baik.
Lalu, siapakah yang akan mengkompensasi kehilangan sarana kegembiraan ratusan atau ribuan anak yang ada di sepanjang Sungai Cimanuk?  Apa yang akan kami dapat dari megaproyek PLN yang merenggut semua kebahagiaan kami…?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H