Pasar bebas ASEAN (AFTA), seharusnya menjadi peluang bagi Indonesia untuk menunjukkan eksistensinya di mata internasional, setidaknya di tingkat Asia Tenggara. Jika dilihat dari anggota lainnya yaitu Malaysia, Philipina, Singapura, Brunai, Thaliand, Kamboja, Myanmar, Vietnam dan Laos, tentunya Indonesia memiliki segudang keunggulan untuk memasuki area pasar bebas tersebut.
Lahan bumi pertiwi yang luas dan subur, laut yang kaya ikan, belum lagi sumber mineral di perut bumi adalah sebagian kecil dari modal memasuki pasar tersebut. Sementara itu, jutaan generasi muda yang haus prestasi tersebar dari Sabang sampai Marauke. Seperti kata lagu "bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu...."
Pada sisi lain, harga-harga kebutuhan barang yang terus melonjak sampai mencekik kaum kecil akan lebih terkendali sehingga daya beli masyarakat akan berangsur naik. Akibatnya adalah investasi pendidikan dan kesehatan masyarakat meningkat yang pada akhirnya kesejahteraan masyarakat meningkat pula.
AFTA memang menawarkan madu kehidupan yang sangat manis. Kalau mau jadi produsen, anda tidak perlu khawatir kekurangan pasar karena batas megara secara ekonomi hampir tidak ada. Sebagai konsumen, tentunya kita dihadapkan pada situasi persaingan produsen yang secara hukum ekonomi dapat membuat harga semakin kompetitif.
Lalu apa kita sudah siap setelah Pemerintah RI menyiapkannya sejak 20 tahun lalu itu?. Beberapa fakta justru menjadi ironi pelaksanaan pasar bebas Asia Tenggara tersebut. Antara lain :
a.Gerai waralaba asing telah membius perilaku masyarakat kita sehingga akan menjadikan kita sebagai penonton. Anak kecil saja lebih bergairah makan McD daripada ketupat sayur. Belum lagi belanja nyaman di supermarket yang membuat kita melupakan pasar tradisional.
b.Sumberdaya kita, jutaan hektar hutan kita di konversi untuk perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan dari negara sebelah. Juga dengan sumberdaya mineral, kecil sekali peran bangsa ini dalam mengelola minyak, sehingga keuntungan terbesar dinikmati oleh KPS yang mayoritas perusahaan asing.
c.Pelabuhan-pelabuhan kita, konon biaya mengeluarkan satu koli barang dari pelabuhan LEBIH MAHAL daripada biaya perjalannya yang jauh ratusan mil dari China. Birokrasi yang berbelit di pelabuhan telah menuntun kapal-kapal pengangkut komoditi untuk merapat di Singapur.
d.Pemerintah kita yang lebih sibuk dengan mempertahankan “kursi jabatan” daripada menyiapkan infrastruktur bangsa dalam jangka panjang. Mental korup untuk mempercepat pengembalikan biaya membeli jabatan, seolah-olah memperjelas bahwa mereka mengatakan “emang gue pikirin”.
Secara pesimis, AFTA ibarat melepas binatang yang sebelumnya di kebun binatang ke alam bebas. Yang bermental kompetisi akan semakin berkembang, yang biasa disuapi akan mati perlahan dimangsa oleh si kuat.
Di tingkat masyarakat, kita hanya akan menonton bagaimana mereka lincah mencari keuntungan dari dua ratus juta lebih penduduk Indonesia yang tetap setia berbelanja produk asing dari mulai peniti, peralatan dapur sampai gadget.
Sebagai pribadi, saya berharap negara-negara Asean lainpun kondisinya tidak lebih bagus dari Indonesia sehingga dengan persiapan yang compang-campingpun kita masih bisa eksis memasuki arena tersebut. Maaf… terpaksa saya mendo’akan terjadi hal yang buruk buat mereka……
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H