Terpilihnya Jokowi-Ahok dalam pemilihan gubernur DKI membuat paradigm baru tentang semangat otonomi daerah yang bergulir pasca 1999. Jokowi yang fenomenal merebut hati penghuni ibukota negeri ini benar-benar melengkapi terhapusnya ketabuan untuk tetap mengusung putra daerah sebagai pemimpin suatu daerah.
Meskipun lawannya juga tidak murni putra daeran, namun setidaknya membuka cakrawala baru bagi banyak daerah yang banyak memaksakan mencalonkan putra daerahnya meskipun kompetensinya tidak mencukupi untuk menjadi seorang kepala daerah. Akibatnya, kini banyak kabupaten baru yang tidak terurus karena pemerintah yang terbentuknya tidak memiliki kompetensi yang cukup, meski tujuan otonomi sudah tercapai, yaitu mendekatkan pemerintah dengan wilayahnya.
Undang-undang tentang pemerintahan daerah memang tidak mengharamkan calon pemerintah daerah berasal dari luar wilayahnya. Tetapi kenyataannya ini sering kali menjadi persyaratan tidak tertulis yang dilakukan dalam pemilihan kepala daerah. Apalagi beberapa daerah dipaksa dimekarkan karena selain hanya sekedar mengeksplore danak alokasi khusus, juga karena ada putra daerahnya yang “kebelet” ingin segera menjadi bupati atau gubernur.
Pada sisi lain, pemaksaan putra daerah untuk menempati jabatan tertentu juga menimbulkan kelucuan dalam pembentukan sistem pemerintahan daerah, terutama di daerah baru hasil pemekaran. Banyak guru SMP yang tiba-tiba diangkat jadi kepala dinas di sebuah kabupaten, yang selanjutnya kebingungan karena biasanya mengajar tiba-tiba tiba harus memimpin sebuah instansi teknis. Mengapa guru? karena ia mempunyai jenjang kepangkatannya lebih cepat dibanding jalur PNS lainnya sehingga ketika suatu daerah baru dimekarkan menginventarisasi jumlah PNS putra daerahnya, maka para guru itulah yang pangkatnya lebih tinggi sehingga secara aturan layak mendapat jabatan lebih tinggi yaitu kepala dinas.
Tindakan KPUD DKI boleh jadi kini merupakan sindiran yang pedas bagi daerah-daerah yang baru mekar. Jika dari awal KPU DKI tidak menghendaki pemimpin dari luar DKI, tentunya pencalonan Jokowi-Ahok akan terjegal sebelum mendaftaran. Tapi kenyataannya tidak, sampai akhirnya ia memenangkan pilkada tersebut dan kini Jokowi –Ahok menjadi DKI-1 dan DKI-2.
Keberhasilan Jokowi memimpin Jakarta memang masih ditunggu. Program kerja 100 harinya saja belum setengahnya ia lalui. Namun kemenangan Jokowi di DKI benar-benar merupakan contoh bagi daerah lain bahwa penduduk luar tidak haram untuk memimpin suatu daerah. Memilih pemimpin yang putra daerah tentu akan lebih baik selama yang bersangkutan memiliki kapasitas sesuai dengan tanggung jawab yang diembannya.
Apakah kedua orang fenomenal tersebut akan berhasil membangun Jakarta? Jika iya, kepemimpinan beliau tentunya akan menginspirasi daerah-daerah untuk menempatkan pemimpin yang benar-benar berdasarkan kapasitasnya sebagai pemimpin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI