Dalam pengamatan saya, puncak kemacetan Bogor terjadi setiap hari Sabtu BUKAN Minggu. Itu tidak saja terjadi di pusat kota, tetapi sudah menjalar hingga batas kota seperti jalan baru Sholeh Iskandar. Jika sebelum ada fly over di Perempatan Warung Jambu, pusat kemacetan terjadi di sana, kini bergeser ke ujung jalan layang yang tersebut yang kebetulan juga merupakan kawasan pendidikan, pemukiman dan perbelanjaan.
Hari Sabtu memang terjadi berbenturan antara serbuan pengunjung Bogor yang kebanyakan dari Jakarta dengan aktivitas Bogor dimana hari Sabtu adalah hari sekolah. Pengunjung yang umumnya berkendaraan pribadi harus beririsan dengan banyaknya angkot yang salah satu pangsa pasar potensialnya adalah anak-anak sekolah. Coba saja melintas Jalan Kartini pada Sabtu Siang, pakai sepeda motorpun bisa lebih lambat dari jalan kaki.
Maraknya Bogor dengan angkot juga tidak terjadi begitu saja. Ada hubungan sebab akibat dengan pertumbuhan jumlah penumpang. Karena ada angkot, banyak orang tertahan untuk membawa kendaraan pribadi meski pertumbuhan pemilikan kendaraannya juga tidak lebih sedikit dengan daerah lain.
Saya coba analogikan dengan Pontianak dimana kebanyakan orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi karena angkutan umumnya kurang memadai. Bayangkan jika di Bogor angkot dikurangi, maka sebagian pengguna itu akan beralih menggunakan kendaraan pribadi. Anggaplah 1 angkot berisi 10 penumpang dengan kepentingan dan tujuan berbeda, penghilangan satu angkot akan memunculkan 5 – 10 sepeda motor atau bahkan mobil. Maka, dilihat dari pertimbangan lingkungan, menurut saya keberadaan angkot lebih efisien daripada setiap orang membawa kendaraan sendiri.
Namun demikian, hal itu tidak lantas membenarkan kesemerawutan kota yang terjadi seperti sekarang ini. Pemerintak Kota Bogor perlu menata sistem transportasi yang ada sehingga Bogor tetap nyaman untuk dikunjungi. Beberapa pangkalan angkot perlu disentuh sehingga bisa ditata lebih baik lagi. Beberapa ruas jalan perlu diperbesar dan yang penting aparat seperti LLAJ dan polisi bisa menindak tegas para pelanggar terutama yang membuat kemacetan jalan.
Saya sungguh menyesalkan beredarnya wacana ada ide pelarangan masuknya mobil plat “B” ke Bogor meski rencananya hanya 1 hari setiap pekan yang dilontarkan walikota Bogor. Karena keberadaan mereka berarti devisa bagi Bogor. Umumnya pengunjung akan membelanjakan uangnya, setidaknya untuk membeli makanan. Apalagi Bogor berharap bisa menjadi kota kuliner, yang menjadikan sektor perdagangan makanan menjadi sumber pendapatan daerah dan penghasilan masyarakat.
Sedikit saran saya buat Pemkot Bogor, mungkin kini sudah saatnya Kota Bogor menghambat migrasi masuk karena pertumbuhan penduduk alami tidak bisa dicegah. Coba buka lagi RTRW yang menjadi cetak biru perencanaan kota, siapa tahu ada kebijakan yang tidak sesuai lagi dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan saat ini….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H