Mohon tunggu...
Taryadi Sum
Taryadi Sum Mohon Tunggu... Insinyur - Taryadi Saja

Asal dari Sumedang, sekolah di Bandung, tinggal di Bogor dan kerja di Jakarta. Sampai sekarang masih penggemar Tahu Sumedang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Janda jadi Pengusaha atau Pengusaha Berstatus Janda, Emang Kanapa?

24 Agustus 2015   11:02 Diperbarui: 24 Agustus 2015   11:17 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istri saya, karena sebuah ajakan dari temannya, mulai merintis usaha produk makanan beku. Karena niatnya juga untuk mengisi waktu luang, iapun tidak memikirkan ekspansi, cukup hanya menitipkan di beberapa warung saja.  Saya yang hanya mendukungnya malah lebih serius dari mulai membelikan freezer khusus untuk penyimpanan bahan baku dan produk jadinya sampai merintiskan untuk mendapat sertifikat P-IRT agar produk bisa tampil lebih percaya diri di pasaran.

Beberapa hari lalu istri saya kembali bertemu dengan temannya itu dan menceritakan semua perkembangan usahanya. Meski ia menggeluti bisnis yang sama, ia tidak menganggap sebagai pesaing. Ia malah mengajak istri saya masuk ke komunitas pengusaha wanita yang sudah ia masukinya lebih dulu. Maksudnya adalah agar prtoduk istri saya memiliki pasar yang lebih besar.

“Tapi serem pak..”katanya pada saya waktu dia menceritakannya beberapa hari lalu. “Lho kok.. serem kenapa..?” Tanya saya asli bingung. “Kata dia, di komunitas itu  hampir janda semua, jika nanti keenakan jadi pengusaha, amit-amit deh mamah jadi janda juga…”.  “Hahaha…. emang kenapa dengan janda pengusaha?” jawab  saya. Istri saya memang terlalu polos untuk sesuatu yang berbau bisnis.  

Perlu diketahui, teman yang mengajak usahanya itu juga seorang janda kaya yang suaminya meninggal. Harta peninggalan suaminya secara matematis tidak akan habis jika dipakai untuk menyelesaikan sekolah anak-anaknya dan membiayai sisa hidupnya. Ia berbisnis karena menurut dia berniaga itu ibadah, dengan berniaga ia juga  bisa bersedekah dari keringatnya sendiri. Karena binisnya pula, ia menjadi donator salah satu taman kana-kanak tempat anak saya bersekolah tahun lalu.

Kepada istri tercinta yang kadang entah gimana gitu ketika berurusan dengan kata “janda”, saya mengatakan bahwa bagi mereka itu, jadi pengusaha adalah pilihan ketika ditakdirkan berstatus janda, setidaknya saya melihat temannya itu. Sisi positifnya adalah  nilai-nilai kemandirian seorang perempuan terhadap permasalahan hidup, mereka sangat jauh dari penyakit “cinderella syndrome”.  

Saya sampaikan juga bahwa kalau ada fenomena perempuan jadi pengusaha dan sukses besar kemudian bercerai karena merasa tidak terlalu membutuhkan perlindungan suami, itu adalah anomali saja. Saya katakan tidak sulit menghindari fenomena itu jika tidak menjadikan kekayaan materi sebagai tujuan satu-satunya.

Pada akhirnya seperti biasa saya serahkan segala keputusan padanya, mau serius berbisnis atau tetap menjadikannya sebagai bisnis sambilan pengisi waktu luang.  Saya juga mengingatkan pada komitmen dulu sebelum menikah bahwa saya yang sepenuhnya bertanggung jawab mencukupkan nafkah keluarga, asal hidup tetap berada di tingkat yang realistis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun