Sekitar 15 tahun lalu, saya punya rumah untuk pertama kalinya di sebuah kompleks perumahan di daerah Soreang, Kabupaten Bandung. Tidak ada informasi dan riwayat banjir di kawasan tersebut ketilka memutuskan membeli rumah di tempat tersebut. Namun karena sebuah tanggul pengendali air dibongkar oleh Pemda akibat adanya banjir di daerah hulu, sejak saat itu kompleks kami jadi langganan genangan air hujan meski paling tinggi hanya sebetis.
Karena cape sebentar-sebentar harus membersihkan rumah bekas air masuk, saya akhirnya menjual rumah tersebut dan rencana pindah ke tempat lain yang bebas banjir. Kebetulan saat itu saya mendapat kerja di Jakarta, saya akhirnya memutuskan membeli rumah di Bogor saja dan menjadikan kereta Jabodetabek sebagai moda transportasi andalan saya.
Kini, setiap hujan besar di Bogor, sebagian kawasan di Jakarta merupakan langganan banjir. Setiap tahun musibah itu menghiasi berbagai halaman media massa. Meski Pemprov DKI sudah maksimal melakukan mitigasi, banjir di metropolitan itu tetap saja terjadi menelan harta dan nyawa.
Suatu ketika, kira-kira setahun yang lalu, saya coba membahas dengan seorang teman yang rumahnya di kawasan langganan banjir tersebut, hasilnya sungguh mencengangkan, bagi saya malah termasuk mengherankan. Mereka menganggap banjir yang setiap saat menguras harta benda sudah ditanggapi sebagai hal yang biasa.
Teman saya mengatakan (menurut dia, pendapat itu hampir merupakan pendapat masyarakat umum), kalau banjir datang mereka mengungsi, ketika air surut mereka beramai-ramai membersihkan rumah, kalau barang-barang hilang kebanjiran tinggal membeli lagi. Mereka memilih tidak pindah antara lain karena akan jauh dari mata pencaharian, menjual rumah yang ada tidak cukup untuk membeli rumah baru di tempat lain dan sebagainya.
Bagi saya, perkataan teman tersebut sangat tidak masuk akal. Hidup sudah susah kok dibikin lebih susah dengan tetap berada di daerah banjir. Bencana atau maut bisa menimpa siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Karena itu agama menganjurkan kita untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan bencana.
Hal lain, kalau melihat di televisi mereka kok sepertinya biasa-biasa saja saat bencana itu tiba. Anak-anak mendapat mainan air gratis, yang muda-muda malah foto-foto mungkin buat update status, yang tua sebagian masih bisa tertawa-tawa dan senda gurau dengan tetangganya yang sama-sama sedang mengungsi.
Banjir bandang di Manado yang menelan puluhan nyawa, atau jebolnya Situ Gintung beberapa tahun yang lalu memang sangat memilukan dan akan mengundang rasa kemanusiaan siapa yang mendengarnya. Kita tentu akan berkata “amit-amit” seandainya bencana-bencana tersebut akan menimpa kita.
Tapi, masihkah banjir di Jakarta dikategorikan sebagai bencana, ketika warga pemukimannya yang selalu kebanjiran merasa itu sebagai hal biasa-biasa saja dan ngotot tidak mau di relokasi atau diatur? Jika mereka sadar, Pemprov DKI yang sedang mengupayakan mengurangi banjir dengan normalisas sungai tentu akan segera terasa hasilnya jika masyarakat tidak ngotot untuk bertahan.
Mengapa mereka lebih percaya bahwa dengan pindahpun bisa mengalami hal lebih buruk dari musibah banjir daripada meyakini bahwa hidup ada jalannya sendiri ketika kita mau berusaha....?. Seperti orang memacu sepeda motor dengan kecepatan 140 km perjam, jika dia celaka sangat sulit mengkategorikannya sebagai bencana……
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H