Kota Wasior adalah pusat keramaian kabupaten Teluk Wondama yang terletak di sekitar leher sebelah atas pulau kepala burung Papua. Seperti daerah pedalaman Papua lain pada umumnya, untuk menjangkau wilayah yang pernah terkena musibah banjir bandang tahun 2010 ini memerlukan perjalanan yang sangat rumit. Saya melakukan perjalanan tersebut hanya satu tahun sebelum musibah yang menewaskan lebih dari 200 orang tersebut dengan satu orang teman dan satu orang pendamping dari kementerian perhubungan.
Kabupaten Teluk Wondama hanya bisa ditempuh melalui jalur laut dari Manokwari dan melalui penerbangan perintis. Karena minim informasi mengenai jadwal penerbangan ke pelosok tersebut, kami memutuskan untuk menggunakan jalur laut.
Sebelum berangkat dari Jakarta harus memastikan dulu jadwal kapal yang akan berangkat kesana. Kebetulan pada saat itu kapal yang paling dekat dengan jadwal survey kami adalah KM Nggapulu. Kapal berkapasitas 2130 penumpang itu merupakan kapal PELNI yang selanjutnya akan berlayar sampai Jayapura. Maka untuk menyesuaikan jadwal tersebut, sehari sebelumnya kami berangkat dari Jakarta ke Manokwari dengan pesawat.
[caption id="attachment_215912" align="alignnone" width="300" caption="Penumpang berjejal masuk KM Nggapulu, beberapa saat sebelum berangkat dari Manokwari "][/caption]
Karena laut yang dilayari merupakan kawasan teluk, tidak ada ombak berarti yang dilalui kapal yang panjangnya sekitar 130 meter tersebut. Saat itu kebetulan penumpangnya penuh sesak sehingga hampir semua ruang kapal termasuk lorong-lorongnya terisi penumpang. Karena umumnya masyarakat papua suka makan buah pinang (kalau di Jawa mungkin sama dengan menyirih), di setiap sudut kapal banyak terdapat ludah-ludah merah juga bekasnya yang sudah mengering tetapi masih meninggalkan warna merah yang bagi saya terlihat menjijikan. Kami pergi dari Manokwari pagi, sampai di tujuan menjelang magrib.
[caption id="attachment_215913" align="alignnone" width="300" caption="Karena kapal penuh sesak, penumpang hanya kebagian di lorong pun jadi"]
Setelah beberapa hari melakukan kegiatan survey, masalah berikutnya adalah transportasi pulang. Rupanya tidak bisa kapan saja untuk keluar dari kabupaten itu, harus menunggu ada kapal yang masuk atau penerbangan perintis yang hanya 1-2 kali penerbangan perminggu. Maskapai yang melayani rute tersebut adalah Merpati dan Aviastar dengan pesawat capung Twin Otter yang mungkin usianya lebih tua dari umur saya sendiri.
Ketika cari informasi di bandara, memang akan ada penerbangan besok hari. Tetapi ketika bincang-bincang lebih jauh, mereka menginformasikan kalau seminggu sebelumnya hampir terjadi kecelakaan dimana pesawat gagal terbang setelah dipacu sampai ujung landasan. Menurut mereka, kemungkinannya karena beban terlalu berat. Meskipun kapasitas 14 tempat duduk, konon hanya bisa diisi 10 penumpang karena usianya sudah tua. Saat kejadian itu penumpangnya 12 orang.
Tanpa mengorek info tentang kelanjutan kejadian itu, saya kemudian memutuskan untuk naik kapal saja meskipun harus menunggu satu minggu dalam kejenuhan daripada harus naik pesawat itu dan mempersilahkan kedua teman untuk pulang duluan jika mau. Rupanya kedua teman tadi “bernyali” sama dengan saya sehingga memutuskan batal untuk naik pesawat.
Akhirnya beberapa hari kemudian ada kapal perintis KM Bintang 23 yang dapat membawa kami kembali ke Manokwari. Meskipun perjalanan lebih lama dan sangat tidak nyaman, tapi saya merasa lebih aman dengan kapal yang besarnya paling-paling hanya sepersepuluh kali lebih kecil dari kapal Pelni tersebut.
[caption id="attachment_215914" align="alignnone" width="300" caption="KM Bintang 23, sesaat sebelum kami berlayar menuju Manokwari"]
Yah, perjalanan ke pedalaman Papua memang perlu kesanggupan yang besar. Berlayar dengan kapal kecil tentunya harus siap menerima "goyangan" kapal karena hantaman ombak yang bagi sebagian orang memabukkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H