Mohon tunggu...
Taryadi Sum
Taryadi Sum Mohon Tunggu... Insinyur - Taryadi Saja

Asal dari Sumedang, sekolah di Bandung, tinggal di Bogor dan kerja di Jakarta. Sampai sekarang masih penggemar Tahu Sumedang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

BLT : Dengan Kail Belum Tentu Dapat Ikan

25 Maret 2012   17:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:29 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika BBM akan dinaikkan, alasan klasik pemerintah adalah subsidi yang diberikan hanya dikmati sebagian orang dan tidak dinikmati rakyat kecil. Yah, memang benar demikian bahwa pemilik kendaraan sebagai konsumen utama BBM di Indonesia adalah orang-orang kaya. Orang miskin jangankan membeli mobil, membeli makanpun harus diatur-atur sedemikian rupa.

Kata-kata itu merupakan hasil analis para ahli ekonomi Indonesia yang menyandang gelar-gelar tertinggi dari jenjang pendidikan. Namun mereka mengabaikan fakta bahwa di negeri ini orang kaya pemilik kendaraan adalah corong-corong ekonomi masyarakat kecil. Artinya adalah penerima dampak dari kenaikan BBM selalu masyarakat kecil, meskipun yang merasakan langsung kenaikan harga BBM adalah kelompok kaya yang memiliki mobil.

Di era pemerintahan SBY ini, subsidi BBM dikonversi menjadi BLT agar bantuan itu langsung diterima keluarga tak mampu. Ini juga benar dengan melupakan fakta bahwa setiap kenaikan BBM akan disertai dengan kenaikan seluruh barang kebutuhan sehingga subsidi 100 atau 200 ribu rupiah setiap bulan menjadi tidak berarti lagi.

Apakah para ekonom yang mengatakan hal itu tidak faham bahwa analisis merekahanyalah potongan-potongan kecil dari persolalan perekonomian Indonesia?. Rasanya tidak juga karena sistem ekonomi sudah diajarkan sejak bangku SMP saja sudah mengenalkan sistem sebab-akibat yang memandang permasalahan secara menyeluruh dan tidak berdiri sendiri.

Sedangkan informasi yang menyebutkan pemerintah sudah terlalu berat menanggung subsidi untuk tidak menaikan harga BBM dalam negeri, hanyalah untuk menutupi akumulasi kesalahan kebijakan pengelolaan sumberaya energi dalam negeri yang sudah terjadi sejak lama. Subsidi atau penarikan subsidi BBM bukanlah hukum alam, tetapi hanyalah sebuah pilihan.

Defisitnya pasokan BBM bukanlah kejadian mendadak, para ahli Indonesia pasti bisa menghitung berapa cadangan yang dimiliki dan berapa yang dibutuhkan. Ketika defisist itu terprediksi, yang harus dilakukan adalah tidak menjual yang sudah ada sambil mencari energi alternatif.

Lantas apa sebenarnya pertimbangan pemerintah menyalurkan dana kompensasi kenaikan BBM dengan BLT? Ibarat kail dan ikan, sepertinya pemerintah lebih suka memberikan ikan daripada kailnya. Mungkin logika para ekonom tersebut adalah “dengan diberi kail, rakyat belum tentu bisa mendapat ikan” tetapi lupa bahwa “tanpa kail, tidak ada yang bisa mencari ikan”.

Tetapi bagi rakyat kecil yang dianggap sebagai kelompok yang tidak mampu mencari ikan, BLT akan dikenang sebagai “kebaikan” daripada “kewajiban” pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya.  Dan kebaikan tentu bisa berarti pesona.....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun