Akhir-akhir ini, Indonesia disuguhkan tontonan kesedarhanaan Dahlan Iskan. Sebagai menteri, beberapa tindakan "merakyat"nya mendapat banyak simpatik dari masyarakat karena merupakan suatu kelangkaan di negeri ini. Baru-baru ini juga diberitakan bahwa Sang Mentri nyetir sendiri sejauh 40 km untuk meninjau peternakan Sapi Bali di Jambi.
Tanpa berprasangka buruk pada pejabat yang beraliran sederhana tersebut, hendaknya para pewarta tidak perlu berlebihan memberitakannya. Bagi seorang dewasa, nyetir sendiri sejauh itu bukan hal yang luar biasa sehingga tidak harus diberitakan secara berlebihan.
Akibatnya, lihatlah pemberitaan detik.com mengenai hal itu, yang diberitakan hanyalah tentang ia nyetir sendiri sejak subuh sejauh 40 km dan makan nasi bungkus bersama para pekerja, sementara itu apa hasil kunjungan itu dan apa tindak-lanjutnya sama sekali tidak terwartakan. Padahal yang tidak kalah penting untuk diberitakan adalah apa manfaat dari kunjungan tersebut dan apa upaya tindak lanjutnya sehingga publik dapat menilai apakah kunjungan itu bermanfaat atau sekedar jalan-jalan tebar pesona seperti para politisi?
Memang, di tengah ironi kemewahan anggota DPR dalam lautan kesengsaraan rakyat, berita mengenai ada pejabat yang sederhana sangatlah menyejukkan. Tapi kita tentunya belum lupa bagaimana SBY yang dulu banyak mendapat puja-puji sehingga terpilih jadi presiden dua kali berturut-turut kini mendapat stempel "tebar pesona" yang dapat diartikan sebagai kegombalan masa lalu. Karena kesederhanaan, kesigapan dan kejelian Dahlan Iskan, beberapa pihak malah menimang-nimang seandainya ia jadi RI-1 atau RI-2.
Untuk menjadi pemimpin, kesederhanaan boleh jadi sangat diperlukan, tetapi masih banyak kompetensi lain yang dibutuhkan. Apakah ia memiliki keberanian mereformasi hukum? Apakah ia berani mengambil sikap di tingkat internasional? Atau apakah ia seorang yang konsisten dan teguh pendirian? Tentu ini perlu pembuktian sebelum kita benar-benar menganggap ia sebagai pemimpin yang ideal.
Apalagi kini media juga sudah ditunggangi kepentingan politik. Media sudah tidak steril lagi, pemberitaan juga sudah tidak berimbang lagi. Seorang pejabat yang diberitakan kesederhanaan dan kesigapannya terus-menerus tentu tidak adil ketika puluhan atau ratusan bahkan ribuan pejabat lain melakukan hal yang lebih baik lagi tetapi luput dari sorot kamera dan liputan wartawan.
Yah, mari kita menanggapi sesuatu secara tidak berlebihan sehingga kita tidak terjebak lagi pada politik tebar pesona.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H